"Gue udah gituan, Has,” ucap Nilan.
Saat ini, Nilan Pitasari sadar bahwa takada jalan lagi untuk kembali. Dia sudah keluar dari gelembung impian, dan harus menghadapi kenyataan.
"Maaa ... maksud lo?" Hasmi–sahabatnya, bertanya karena takpercaya; matanya melebar dan fokus menatap Nilan.
Karena gugup, Nilan memalingkan muka darinya, lalu membalikkannya ke bantal di pangkuan.
"Udah ada yang ngambil keperawanan gue, Has," Nilan berkata lagi dengan nada monoton, berusaha terdengar sebiasa mungkin.
Akan tetapi, jauh di lubuk hatinya, dia merasa panik.
Hasmi hanya terdiam. Nilan bisa mendengar detak jantungnya yang liar, di empat sudut asrama yang mereka tinggali, karena kesunyian yang ekstrem.
Nilan mendongak dari bantal kemudian menatapnya. Hasmi juga menatap Nilan, dengan mata terbelalak. Mulutnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata yang keluar, malah terus menggeleng.
"Gue serius,” Nilan menambahkan.
Hasmi menggeleng lagi, "Gak! Itu gak mungkin," lalu berkata lebih kepada dirinya sendiri daripada Nilan, “saya kenal kamu, Nilan!”
Sambil mendesah, Nilan bersandar di sofa kemudian meletakkan kaki di meja tengah.
“Tapi emang bener, Has. Gue udah berhubungan seks, jadi udah gak perawan lagi," sahutnya, dengan suara rendah.
Nilan dan Hasmi mulai berteman saat tahun pertama kuliah, lalu jadi teman sekamar di asrama. Mereka memiliki sikap serupa, jadi bisa begitu cocok; memiliki sikap yang riang, juga menyukai pesta; bebas dalam berpikir dan berpakaian, tetapi sama-sama menganut kesucian pernikahan: pernikahan sebelum seks. Nilan tahu seberapa kuat pendirian Hasmi tentang seks pranikah, jadi memaklumi sikapnya. Sama—Nilan merasa seperti masih dalam mimpi buruk dan tidak ingin bangun.
"Gi gimana kejadiannya? Kapan? Di mana?"
"Ingat gak, pesta terakhir kita di bar?" jawab Nilan
Hasmi mengangguk. Bar yang dimaksud Nilan adalah bar elite yang populer. Tentu saja, mudah untuk Hasmi ingat, karena itu adalah pesta terakhir yang hampir semua lulusan pergi, sebelum ujian akhir dan mengurus persyaratan kelulusan. Itu hampir empat minggu yang lalu.
Saat itu Hasmi pulang terlebih dahulu, serta memaksa Nilan untuk tetap tinggal. Nilan jadi sendirian. Ada yang memberinya minum sehingga penglihatannya menjadi kabur. Badannya panas, Nilan merasa ingin melepas baju. Kemudian, dia pergi ke lantai dansa, lalu berdansa dengan seseorang dan menciumnya. Besok paginya, Nilan bangun, telanjang dengan seorang pria di sampingnya yang juga telanjang. Ada noda darah di seprai, dan Nilan merasa sakit di bagian bawah tubuhnya.
"Tapi waktu kamu pulang pagi-pagi, kamu bilang abis nginep di rumah teman yang perempuan kok.”
Nilan bersujud, "Gue bohong, Has," lalu mengaku sambil menggigit bibir bawah—kebiasaan yang biasa dia lakukan setiap kali merasa bersalah, atau tegang.
"Ya Tuhan, Nilan! Itu kan sebulan yang lalu, kenapa baru jujur sekarang?"
"Iya, maaf ya, Has.”
Hasmi berdiri, lalu mulai mondar-mandir.
"Ini beneran sulit dipercaya. Saya cuma gak bisa ... kita berdua kan tau, walau mabuk, kamu gak bakal ngebiarin kejadian kayak gitu!”
"Ya, pikiran gue juga sama waktu itu, Has. Masalahnya, gue emang bertingkah aneh abis minum."
Hasmi menarik napas kemudian berhenti mondar-mandir.
“Kamu udah dibius, Nilan! Ya Tuhan! Ada bajingan yang racunin minuman kamu, terus ngambil keuntungan dari kamu! Saya bakal bunuh dia ! Kenapa baru cerita sekarang, Nilan? Harusnya kita penjarain tuh pemerkosa!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Cinta Ketua Gangster
AcciónTajir, tampan, ketua preman, tetapi ia seorang yang introvert!! Mirisnya, ternyata ia-lah yang mengambil keperawananku! Aku merasa seluruh tubuh membeku mendengar pertanyaan itu. Detak jantungku mempercepat langkahnya. Aku berkeringat, sambil meng...