Ruangan kayu

95 30 27
                                    

CHAPTER SATU . RUANGAN KAYU

Krieet

Suara derit pintu kayu mengalun. Pintu berukir abstrak itu kembali tertutup tanpa perintah, seakan ingin mengunci rapat 'rahasia' yang berada di dalamnya.

Ketukan sepatu menggema di dalam ruangan minimalis itu. Hingga sepasang kaki berhenti di dekat ranjang. Matanya menelisik sekitar, mengingat suatu yang mungkin terlupakan. Matanya menangkap suatu benda asing.

Baskara Cakra Dinata

Itulah nama yang terukir di kotak berwarna cokelat, senada dengan warna ruangan yang berbahan dasar kayu itu. Jemarinya mengusap perlahan nama yang tertera di atas kotak.

Pria itu, berusaha mengingat terakhir ia datang ke ruangan ini. Seingatnya kotak kayu tersebut tak ada di atas nakas.

"Maaf baru datang lagi, bunda" Pria itu meraih bingkai foto yang tersusun apik di nakas lalu ia tersenyum samar.

"Bunda gak pernah izinin Cakra ngunjungin bunda selain hari ini"

Hari ini genap satu tahun Weni, ibunda Cakra meninggal dunia. Pria itu ingat pesan terakhir bunda, beliau mengatakan, akan sangat bahagia jika putranya itu mengunjungi kamarnya ketika satu tahun hari kematiannya, dibanding Cakra datang kepusara.

Praang

Cakra terkesiap, bingkai di genggamannya terlepas begitu saja. Matanya menyipit ketika menemui benda berkilau di ujung sepatunya.

"Kunci?" Cakra meraih benda yang keluar dari dalam bingkai foto tadi.

Pria itu meraih kotak kayu di atas nakas, ia berjongkok mencoba menyesuaikan kunci ditanggannya pada gembok.

Dan, dalam beberapa detik kotak itu terbuka lebar. "Barang, bunda?" Gumamnya

Hal pertama yang ia lihat adalah sebuah kalung berbandul kerang, ia yakin itu adalah kalung terakhir yang Weni pakai sebelumnya.

Sebuah buku usang menarik perhatian Cakra, ia mengernyit melihat tulisan cover pada buku tersebut. Kemudian saat membuka lembar pertama buku, ia di pusingkan oleh tulisan aneh yang tak di mengerti olehnya. Pada halaman selanjutnya banyak terdapat gambar.

Ah, lebih terlihat seperti lukisan. Apakah bundanya yang melukis? Entahlah.

Cakra membolak balikkan lembar halaman, sampai ia berada pada halaman terakhir. Disana ia melihat potret dirinya ketika masih bayi, saat berusia tujuh tahun dan terakhir adalah fotonya ketika berusia tujuh belas tahun. Foto tersebut diabadikan bersama dengan foto Weni.

"Selamat malam Cakra.."

"Terimakasih sudah membaca ini. Ah, jika kamu sudah menemukan buku ini berarti sudah tepat satu tahun bunda nggak ada di dunia lagi ya?"

Cakra membaca barisan kata yang di sampaikan bundanya, hatinya begitu ngilu mengingat kebersamaan mereka yang begitu singkat baginya.

"Kalau kamu kangen bunda, kamu nggak perlu khawatir. Bunda selalu berada di dekat kamu, nak"

Bulu kuduk pria itu berdiri, kembali melanjutkan bacaanya "Kamu mau, lihat bunda?"

Pats

"Akhhh sialan!!" Pria itu reflek melempar asal buku di tangannya.

Ia merangkak ke arah pintu, ruangan yang gelap membuatnya tak sadar telapak tangannya terluka mengenai pecahan kaca bingkai tadi.

Berhasil menemukan gagang pintu, Cakra segera keluar dari sana. Ia berlari terbirit hingga tak menyadari sebuah pilar berada di dekatnya.

Kepalanya terbentur, dan akhirnya kesadarannya menghilang.

Satu hal yang tidak pria itu sadari, lampu di luar hidup, berbeda dengan lampu di dalam ruangan kayu tadi.

Cakra mengerjap, silau cahaya pagi membuatnya mengerang "Eumhh"

Seorang wanita paruh baya bersedekap dada "Bangun, bocah nakal!"

Sang empu menatap wanita tua di depannya, kemudian memejamkan matanya kembali.

"Satu..!"

"Dua.."

Cakra terduduk segera beranjak dari ranjangnya. Kemudian mengecup singkat pipi oma nya. "Cakra bangun"

"Lima menit, saya tunggu di meja makan!" Perintahnya mutlak

Kemudian terdengar suara ringisan pria itu yang terpeleset di dalam sana mendengar seruan omanya.




Kini Cakra berada di ruang makan, dia duduk di sebelah oma. Meja ini panjang sekali, ada beberapa kursi disana. Tetapi hanya mereka berdua yang mengisi kekosongan itu.

Dentingan sendok menemani keheningan mereka makan. Sampai suara oma menginterupsi "Cakra─

kamu menuruti keinginan, ibumu?"

Pria itu meneguk ludah kasar, ia jadi teringat kejadian mati lampu semalam. Yang membuatnya berakhir pingsan.

Cakra mengangguk, kemudian menandaskan air di gelasnya. "Aku cuma pengen ngabulin keinginan bunda buat ngunjungin kamarnya kemarin"

Wanita itu mengelap bibirnya dengan tissue. Kemudian menumpukan dagu di atas tangan menatap intens cucunya.

"Lalu?" Tanyanya lagi

"Cakra nemuin buku bunda, terus─ hmm lampunya mati tiba tiba. Ceritanya panjang sampai ini bisa jadi benjol" Pria itu menunjuk keningnya yang memar

".. Kamu lihat sesuatu?"

Ucapan oma membuat Cakra tersedak, ia cukup terkejut mendengar pertanyaan mendadak dari oma.

"Maksud oma, ... hantu?" Gumamnya

Wanita paruh baya itu berdecak "Bukan yang semacam itu! Ini lebih aneh"

Cakra menggeleng "Nggak ada apa apa. Mungkin perasaan aja, malam tadi ngerasa ada 'seseorang' selain Cakra di dalam ruangan itu. Jadi mikirnya─"

Oma mengibaskan tangannya "Tidak perlu di lanjutkan. Lebih baik kamu pergi sekolah, oma ada urusan setelah ini" Wanita itu sudah tahu kelanjutan cerita cucunya itu mengenai hal mistis.

Pria itu mengangguk, ia mengambil tas sandangnya "Oh ya, kenapa Cakra bisa di rumah oma? Oma yang gendong?"

Pertanyaan konyol pria itu membuat betisnya terkena pukulan tongkat dari oma. "Menurutmu, usiamu berapa?"

"Auhh. Tapi serius, kok bisa?"

"Sander, usir anak nakal ini segera" Perintah oma disanggupi oleh Sander, pria yang daritadi berdiri di sisi oma sekarang mempersilahkan Cakra untuk berjalan dahulu keluar.

Cakra berdecak kemudian keluar, diikuti bodyguard tersebut. Mereka memasuki mobil alphard putih dijalankan menuju tempat dimana Cakra bersekolah.

Di perjalanan, Cakra mengeluarkan kacamata minus dari tasnya. Kemudian memakai benda itu segera.

Deheman Sander membuyarkannya "Apa matamu sekarang minus, Cakra?"

Pria itu menoleh kemudian mengangguk. Kemudian menunjuk sebuah halte meminta Sander untuk memberhentikan laju mobilnya.

"Makasih tumpangannya!" Ujar Cakra sebelum meninggalkan mobil.

Sander tersenyum kecil. Ia tahu, Cakra sedang menyembunyikan identitasnya. Kaca mata? Itu hanya alibinya. Pikir Sander sebelum menginjak pedal gas.

NascencyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang