꒦꒷꒦꒦꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒷꒦꒷꒷꒦꒦꒷꒦
Sinar matahari mulai menyeruak masuk melalui celah-celah yang bisa ia gapai. Seperti biasa, cahaya tersebut tiada bosan mencetak bayang terali pada dinding polos tanpa corak di dalam sana.
Ciela terbangun tepat di saat pancaran matahari mulai menggerayangi tubuh. Sangat bukan Ciela sekali, sebab dari awal-awal Ciela sudah memberi tahu jika sepetak semesta punya pagi tersendiri. Namun, berhubung tadi malam waktunya sudah mulai konkret dengan dunia luar, maka tak heran lagi mengapa pagi juga mengikut.
Ciela bangun dengan perut yang dijalari nyeri. Rupanya ayah benar-benar melupakannya malam tadi. Entah pagi ini ayah telah pulang atau belum. Ciela bahkan tak tau tempat mana yang menjadi objek ayah setiap berkata 'pulang'.
"Bocil, tumben baru bangun." Suara menyebalkan Digant menjadi suara pertama yang menyambut kesadaran Ciela.
Ciela menguap lebar, sudut matanya berair hingga sosok Digant tampak kabur di mata.
"Digant ngapain?" Akan terdengar bodoh jika pertanyaan tersebut ditujukan untuk bertanya kenapa Digant ada di sini. Ciela bertanya demikian karena heran sendiri melihat gelagat Digant yang meringis tiada henti sembari membelakangi dirinya.
"Anu, ini ...." Lagi-lagi Digant meringis. Ia berbalik, hingga tampaklah jika ia tengah menenteng sesuatu, sesuatu yang seharusnya hidup. Dengan tampang tanpa dosa Digant berkata, "salah burungnya, lupa napas nih pasti, mati kan."
Ciela tiba-tiba memberengut. "Selain lupa napas, dia juga lupa makan," sarkas Ciela tepat sasaran.
Bukannya merasa bersalah, Digant malah tambah menyengir. Ia menaruh kembali burung yang sudah setegang sapu ijuk itu pada sangkar.
Ciela mulai was-was. Terlebih saat pria itu berbalik dan mulai mengambil ancang-ancang bak penggulat liar yang siap menghantam lawan. Dan benar saja, belum sempat Ciela melakukan perlawanan, Digant sudah mengepak di udara, tapi karena kodrat Digant yang tak punya sayap, hanya sedetik melayang tubuhnya langsung luruh menghantam Ciela.
"Huaa! Digant! Awas nggak?!" Adalah kata yang menghantar Ciela pada siangnya. Sudah pernah dikatakan, siang baginya adalah saat otak serasa matang karena direbus oleh belubup kekesalan.
"Kalau nggak mau gimana?" Bukan Digant namanya jika tak tengil. Bukannya segera menjarak, badan yang kata Ciela mirip kingkong tersebut malah melilit tubuh mungil tak berdaya milik Ciela.
"Ha, bocil? Kalau gue nggak mau, lo mau apa? Nyium?" tanya Digant dengan wajah tengik.
"Ogah! Amit-amit!" seru Ciela menirukan gaya bahasa Digant.
"Oaaah, Amit-amit? Kalau gue emang amit-amit buat dicium, biar gantian gue yang nyium. Bocil manis, sini Abang cium, muah muach muaaah ...."
"Huaah! Nggak mau! Digant, awas awas awas!" Ciela memberontak, tenaganya bukan main. Namun apalah daya, dengan perut yang 12 jam lebih tak diisi, bukannya lepas, Ciela malah lemas. Perutnya kembali tertusuk-tusuk dari dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepetak Semesta
Teen FictionCiela 6 tahun pernah berpikir jika hidupnya hanya akan berputar di ruang sepetak ini. Menyaksikan 4 sisi tembok dengan tumpukan gamebot di sebelah. Atau, jika beruntung ia bisa sedikit mengintip dedaunan lewat jendela yang diterali ayah. Namun, Ciel...