Bab 8 : Kebebasan

33 9 12
                                    

Issad, Saheer, dan Yasmin kemudian berjalan mendekati Ali dengan hati-hati. Namun, setelah beberapa langkah, mereka melihat tiga mayat anak laki-laki tergeletak di samping ranjang. Kondisi mayat itu sangat mengerikan. Perut mereka terbelah, mata mereka dicungkil, beberapa bagian tubuh mereka dipotong.

Mereka bertiga gemetar melihat pemandangan yang mengerikan itu. Di antara mereka, Saheer terlihat sangat terguncang oleh pemandangan tersebut. Kondisi mayat anak-anak itu mengingatkannya pada Laila, putrinya. Laila ditemukan dengan organ yang tidak utuh, kaki dan tangan terpotong.

Saheer merasa darahnya naik ke kepala. Dia tidak bisa menahan amarah yang meluap-luap di dalam dirinya. Tanpa ragu, dia berlari maju dan memukul wajah Ali sehingga Ali jatuh terlentang. Saheer kemudian duduk menindih Ali dan menghajar wajahnya dengan beberapa tinju hingga berdarah.

"Brengsek! Dasar bajingan! Kembalikan Laila! Kembalikan dia, sialan!" teriak Saheer sambil terus memukul wajah yang sudah babak belur itu.

"Hentikan, Saheer! Kau tidak boleh membunuhnya! Kita harus membawa dia untuk dihukum secara adil!" Issad memegang Saheer dan menyeretnya ke belakang menjauhi Ali.

"Tuan Saheer, kau harus tenang! Jangan bertindak gegabah!" perintah Yasmin.

"Apa kalian tidak melihat apa yang ada di belakangnya? Dia juga melakukan hal yang sama kepada Laila! Dia juga melakukannya kepada Bashar! Biarkan aku membalasnya!" Saheer memberontak dan berusaha melepaskan diri dari Issad.

"Tuan Issad, hentikan dia!" perintah Yasmin.

"Hei! Hei, Saheer! Dengarkan aku! Kau harus menggunakan akalmu! Kau tidak boleh membunuhnya! Jika kau melakukannya, kau hanya akan menjadi pembunuh seperti dirinya! Pikirkan tentang Laila dan Riana! Bagaimana perasaan Riana jika suaminya menjadi pembunuh? Apakah kau yakin Laila di surga ingin melihat ayahnya menjadi orang yang mengambil nyawa orang lain? Sadarlah!" tegur Issad dengan harapan membuat Saheer kembali ke akal sehatnya.

Napas Saheer menjadi sangat berat, terengah-engah. Matanya yang merah terus menatap tajam ke arah Ali yang terbaring di lantai.

"Saheer! Apakah kau mendengar teriakan anak-anak? Cepat pergi ke sana! Mereka mungkin adalah anak-anak yang perlu kau selamatkan!" tambah Issad.

"Apa maksudmu?"

"Laila pasti akan bangga jika ayahnya adalah seorang pahlawan. Segera selamatkan mereka! Aku dan Yasmin yang akan menangani bajingan ini!" ujar Issad mengalihkan fokus Saheer agar tidak mendekati Ali lagi.

Saheer memahami perkataan Issad. Dia mencoba menenangkan dirinya. Issad benar, Saheer mungkin adalah orang yang paling cocok untuk membawa keluar anak-anak tersebut, karena dia seorang guru yang terbiasa mengendalikan kerumunan anak-anak. Issad sendiri memiliki kekuatan untuk mengontrol Ali, mungkin kekuatan itu akan digunakan untuk menggali informasi dari Ali.

"Baiklah, aku serahkan dia padamu," ujar Saheer. Saheer segera berlari menuju ruangan tempat terdengar teriakan anak-anak kecil. Ia mendobrak pintu ruangan itu dengan sebuah linggis. Dia melihat puluhan anak dengan wajah asing berada di dalam ruangan tersebut. Bahasa yang mereka gunakan juga tidak dimengerti oleh Saheer. Kemungkinan mereka adalah orang Asiana. Saheer, dengan bahasa isyaratnya, mengajak mereka keluar dari tempat itu.

Di sisi lain, Ali masih belum bangun dari posisinya. Dia hanya terbaring diam, menatap langit-langit dengan pandangan kosong.

"Bangun, bajingan! Aku tahu kau masih sadar!" seru Yasmin.

"Ah... dari semua orang di Jiza, mengapa hanya Issad dan polisi berpangkat rendah yang datang kepadaku? Kalian tidak akan cukup mampu untuk menghentikannya," gerutu Ali yang masih terbaring itu.

[END] Libra : The Vow of Judgement Ver. 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang