.
.
.
.Bulan kelima muncul kembali di tahun 2022. Hari kesembilan belas yang sangat menyakitkan untuk di ingat.
Lagi-lagi hujan. Seakan bulan kesedihan ini hanya diisi rintihan para manusia lewat rintik yang turun dari atas langit.
Stasiun sepi. Entahlah, biasanya tidak sesepi ini.
Janu masih terduduk di kursi tunggu dengan buket mawar putih merah yang besar.
Ini sudah tahun ke lima dimana ia masih setia menunggu untuk satu hal tabu yang seharusnya berhenti ia lakukan sejak dulu. Janu menghela nafas. Ponselnya tak berhenti berdering.
"Apa?"
"Where are you going? Why aren't you in the studio?"tanya Hattala dari sebrang sana. Nada suaranya tampak khawatir.
Sebab tadi baru Hattala tinggal pulang sebentar, tiba-tiba sosok Janu sudah tidak ada lagi di studio.
"I go."
"Kemana?"
"Stasiun."
Hening. Hattala tak menyahut. Hanya terdengar helaan nafas berat dari sebrang sana. Janu tak tahu bahwa di studio, Hattala tengah menatap foto satu-satunya foto Cakra yang tertera lebar disana. Wajahnya kusut seakan ikut merasakan kepedihan yang tengah dirasakan sahabatnya.
"Stop, Janu."
Janu tak menyahut. Ia hanya terdiam dengan terus menatap buket bunganya. Hattala benar. Harusnya ia berhenti. Harusnya bukan Cakra yang harus mendatanginya, tapi dia yang harus datang pada Cakra.
"This all hurts you, Janu."
Pipp
Sambungan telepon di matikan secara sepihak oleh Hattala. Janu merenung beberapa saat. Ia berjalan mendekat kearah rel kereta. Suara kereta yang berisik itu semakin mendekat. Janu melemparkan buket bunga mawar itu hingga hancur, habis di telan kereta.
Ia berbalik dan segera keluar dari stasiun. Benar, kali ini bukan lagi dirinya yang menunggu. Tapi Cakra juga tengah menunggu. Menunggu untuk di jenguk oleh dirinya.
Selepas telepon ia matikan, Hattala kembali menatap figura Cakra. Cakra memang manis, laki-laki itu berhasil membuat Janu keluar dari zona gelap dalam hidupnya, tapi kemudian Cakra juga yang kembali mendorong Janu untuk jatuh tanpa sengaja.
Sejak bersama Cakra, Janu jauh lebih hidup ketimbang sebelumnya. Hidup Janu sebelum kedatangan Cakra hanya soal musik, musik, dan musik. Ia bahkan sering mengabaikan Hattala. Namun, saat mereka berdua tak sengaja bertemu Cakra mulai saat itu Janu memulai ulang menatap hidupnya.
"Why are you even going, huh? Look at you now, after five years there hasn't even been any change. Dia seperti kehilangan arah, kamu benar-benar porosnya Janu, Cakra." Ujar Hattala.
Hattala dulu pernah menyukai Cakra namun harus menguburnya demi Janu. Sebab ia juga ingin agar Janu lebih hidup.
Sedangkan Janu kini tengah berdiri di depan pusara yang selama lima tahun ini tak pernah ia datangi.
Janu hanya ingin menyangkal bahwa Cakra kini benar-benar tiada. Ia sulit menerima fakta itu sebab sakit sekali rasanya.
"Hai, maaf ya aku baru dateng" Janu berjongkok. Mengusap nisan itu dengan perlahan.
Ukiran nama itu begitu nyata saat tersentuh oleh telapak tangannya yang kasar. Benar, itu nama Cakra, lengkap dengan waktu kelahiran dan waktu kematian.
"Cakra, maaf. Selama ini pasti kamu nungguin aku ya? Aku takut, Cakra. Aku ndak kuat."
"Kamu mau bunga kan? Biar romantis, walaupun sekarang keadaannya jadi melankolis aku tetep kasih kamu ini, bunga cantik untuk orang yang cantik juga."
Janu bersimpuh seakan memeluk gundukan tanah itu. Segala kenangan yang indah bersama Cakra dalam sekejap berubah menjadi kenangan duka yang paling menyakitkan untuk di ingat namun terlalu mahal untuk di lupakan.
Janu ingat betul bagaimana Cakra selalu bilang padanya bahwa hidup memang tentang menyambut dan melepaskan. Bagaimana Cakra selalu berhasil membuatnya bersyukur karena sudah terlahir. Bagaimana Cakra selalu memberinya semangat disaat itu rapuh sendirian.
Cakra segalanya.
Maka ketika Cakra tiada, segalanya bukanlah apa-apa.
"Cakra, tunggu aku ya? Nanti kita ketemu lagi. Selamat tidur. Nanti aku sering-sering kesini supaya kamu ndak kangen."
Maka sampai disini, Kisah Janu dan Cakra telah usai. Meski begitu, Cakra akan tetap hidup di hati Janu sampai kapanpun.
.
.
.F I N !!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
a promise, jeongri✓
Short Story𝙨𝙚𝙗𝙪𝙖𝙝 𝙟𝙖𝙣𝙟𝙞 𝙮𝙖𝙣𝙝 𝙩𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙩𝙚𝙥𝙖𝙩𝙞 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙠𝙝𝙞𝙧 𝙢𝙚𝙣𝙞𝙣𝙜𝙜𝙖𝙡𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙪𝙠𝙖. 𝙅𝙤𝙜𝙟𝙖 𝙢𝙚𝙣𝙟𝙖𝙙𝙞 𝙨𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙗𝙖𝙝𝙬𝙖 𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖 𝙥𝙚𝙧𝙣𝙖𝙝 𝙙𝙚𝙠𝙖𝙩 𝙨𝙚𝙗𝙚𝙡𝙪𝙢 𝙖𝙠𝙝𝙞𝙧𝙣𝙮𝙖 𝙙𝙞𝙥𝙖𝙠𝙨𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙥...