.
.
.Hujan mulai mereda.
Ditengah kesendiriannya, Janu menatap untain bait lagu yang ia ciptakan. Ia membacanya berulang kali dan merasakan sesak berulang kali juga.
"Meeting you is the most beautiful thing in my story..."
Janu terkekeh. Matanya berembun. Ia membenci sisi lain dari dirinya sendiri yang rapuh seperti ini. Dua tahun silam semesta berhasil merenggut satu-satunya orang berharga dalam hidupnya.
"You laugh to yourself and it's creepy."
Janu menipiskan bibirnya. Ia menoleh pada Hattala yang kini mengambil alih gitar kesayangannya. Pemuda keturunan Australia-Indonesia itu dengan lihai memainkan sebuah instrumen yang sudah Janu hafal diluar kepala. Jelas saja, itu lagu buatannya.
"Ada perlu apa?" tanya Janu.
Hattala berhenti sejenak memainkan gitar. Menatap Janu yang kini sibuk membereskan meja kerjanya. Hattala tersenyum tipis nyaris tak terlihat. Ia yang menjadi saksi betapa hancurnya sosok Janu saat ditinggal oleh Cakra.
"Nothing. Hanya ingin kesini."
Setelah selesai membereskan mejanya, Janu kembali duduk dan berhadapan langsung dengan Hattala yang kini kembali memainkan gitar. Gitar itu, pemberian dari Cakra sebagai hadiah ulang tahunnya beberapa tahun lalu.
"And now I'm alone. Waiting endlessly hoping for you to come back. This longing torments me, come back love—"
"Can you stop singing it?"
Hattala tergelak. Ia menatap Janu dengan pandangan meledek. "Why? This is your own song, bro." Ujarnya.
Janu mengendikkan bahunya acuh. Ia menyambar handphone yang berada di rak buku. "But, i don't like it."
Jika berdua dengan Hattala, Janu memang lebih sering menggunakan bahasa inggris. Karena bahasa Indonesia Hattala masih suka berantakan.
"Gimana anda nih? Lagu ini sangat bagus padahal. Kenapa tidak kamu resmikan?"
Ucapan atau lebih tepatnya pertanyaan Hattala mampu membuat Janu terdiam. Namun ia tidak menyahut. Dengan sekonyong-konyong, Janu justru keluar dari studionya meninggalkan Hattala yang kini menatapnya dengan perasaan iba.
"Menyedihkan sekali dia," lirih Hattala.
---
Setelah dengan jahatnya meninggalkan Hattala sendirian di studio musiknya, Janu berjalan tak tentu arah dan berakhir sendiri di tepi danau yang memang biasa sering ia kunjungi dua tahun terakhir ini.
Ia duduk termenung dengan tatapan matanya yang kosong. Menarik nafas perlahan kala mulai merasa matanya memanas. Alih-alih membiarkan bulir itu jatuh meluruh, lagi-lagi Janu menutupnya kembali. Seolah ia tak membiarkan kedua pipinya basah.
Ia sudah tak berpenghuni sejak lama. Nyaris tak pernah disinggahi. Janu menutup segalanya sejak kepergian Cakra. Ia membenci sebuah perpisahan yang amat menyakitkan. Hatinya selalu menjerit bahwa ia sangat terluka. Mana mungkin semuanya baik-baik saja setelah ditinggal pergi tanpa sebuah kata pamit.
Janu menggenggam ponselnya dengan erat seakan takut akan hilang. Foto Cakra dengan senyum yang paling Janu suka terpampang jelas disana.
"Aku sendirian lagi. Kamu kenapa ingkar janji? Pembaca mu menagih janji, Cakra. Kata mu bakal kembali dengan sebuah cerita indah yang menggugah hati, mereka semua nunggu, aku nunggu, tapi kamu ndak kembali juga."
Janu menjadi saksi. Bagaimana banyaknya ribuan pesan terkirim dari banyaknya pembaca karya Cakra. Bagaimana kabar haru itu menyebar ketika si penulis cerita justru pergi begitu saja tanpa sebuah salam perpisahan dan tak melanjutkan cerita yang ia buat.
Semua orang menunggu.
Janu juga menunggu.
Semua orang kehilangan.
Tapi yang paling kehilangan disini adalah Janu.
.
.
.
three updates spesial ultah maniez ku aka young and rich tall and handsome....story ini dipersembahkan atas ulang tahun lovelicky heheh🍕🍓🎉
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
a promise, jeongri✓
القصة القصيرة𝙨𝙚𝙗𝙪𝙖𝙝 𝙟𝙖𝙣𝙟𝙞 𝙮𝙖𝙣𝙝 𝙩𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙩𝙚𝙥𝙖𝙩𝙞 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙠𝙝𝙞𝙧 𝙢𝙚𝙣𝙞𝙣𝙜𝙜𝙖𝙡𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙪𝙠𝙖. 𝙅𝙤𝙜𝙟𝙖 𝙢𝙚𝙣𝙟𝙖𝙙𝙞 𝙨𝙖𝙠𝙨𝙞 𝙗𝙖𝙝𝙬𝙖 𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖 𝙥𝙚𝙧𝙣𝙖𝙝 𝙙𝙚𝙠𝙖𝙩 𝙨𝙚𝙗𝙚𝙡𝙪𝙢 𝙖𝙠𝙝𝙞𝙧𝙣𝙮𝙖 𝙙𝙞𝙥𝙖𝙠𝙨𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙥...