2. Kabar dari Ibu Kota

19 2 0
                                    

Betulan ini Nexus? Betulan kota yang dulunya metropolitan, kini membiarkan sampah-sampah bergerak bebas menutupi jalan pijakan mereka?

Menelurusi dari dekat degenerasi bagian timur Nexus, hampir membuatku terlupa sedang berada di mana. Misalnya, saat melihat satu monumen yang selalu terpaku menjulang ke langit itu. Aku yakin dindingnya di tahun-tahun lampau masih berwarna putih, tapi kini tampak seperti kepulauan jamur hingga lumut.

Padahal lima belas atau sepuluh tahun belakang, selalu ada bocah Wilayah 21 yang pamer diajak ayah mereka mengelilinginya. Tapi tahun ini aku meragu, apa versi dewasa mereka akan mengajak anak-anaknya ke monumen yang sama? Banyak demonstran bagian timur Nexus berteriak-teriak di sana, aku tak tahu apa yang sedang mereka minta.

"Kemarin kamu bilang kota itu tak tertolong lagi," goda Papa setelah membaca raut kebingunganku.

"Ini di luar dugaan." Mulutku mencoba bergerak untuk mengumpati seorang demonstran yang mendadak berlari ke jalan, dan hampir tertabrak olehku. Tapi denting sendok di cangkir Papa mengingatkanku agar bisa menahannya. "Ini keterlaluan!"

Bagian timur Nexus ternyata tidak hanya stagnan, tapi juga berubah jadi lautan sampah. Aku bahkan bisa mendengar derik dari plastik-plastik yang dilindas mobil. "Dikemanakan petugas kebersihan?" tanyaku. Hanya ada demonstran, lagi dan lagi.

Tapi tiada reaksi dari Papa selain menyesap teh pagi harinya untuk yang pertama kali. Mungkin Papa sedang berpikir, atau tidak sedikit pun-dia terlalu lama berdiam dengan kepala tertunduk membaca sesuatu.

"Apa eni menjawab segala pertanyaanmu?" Tangan kirinya lantas mendadak bergerak, menggulir sebuah artikel elektronik hingga tulisan besar-besar itu menggantikan tampilan hologram wajah Papa.

Judulnya berupa: THE GROWING DISPARITY. Diikuti oleh bagan statistik yang bergerak-gerak, aku mencoba mengabaikan itu dan melambankan laju mobil agar dapat membaca keterangan lain, tertulis: IKB's Technological Advancement Leave Nexus Behind. Lalu foto-foto tata kotanya yang megah bermunculan.

Endapan limbah yang dicari Profesor John mana mungkin ada di situ, pikirku menekan geram.

Lagi-lagi mulutku berusaha mengatup rapat ketika tanpa sadar mengilas lubang, mobil sewaanku jadi bergetar hebat. Aku lupa teknologi AI mana pun tidak akan tersambung ke mobil 'konvensional' seperti ini, hingga tak ada peringatan apa-apa tentang kendala di jalan. Jangan mengumpat. Jangan mengumpat, Lung!

"Proyek renovasi Nexus Timur etu makan biaya besar, tapi sedikit yang berhasil, kami tidak bisa membiarkannya terus berjalan. Fokus kami sedang beralih ke IKB, persiapan keseimbangan Kota Nexus nanti-nanti saja." Papa memberitahuku seperti menceritakan guyonan, seolah dia tak takut ada yang menguping pembicaraanya di sana. Dia terlalu tertawa sampai suara getaran dari cangkirnya terdengar, cukup menunjukkan orang seperti Papa memandang IKB (Ibu Kota Baru) sebagai gairah serta ambisi baru.

Aku menaikan kaca mobil rapat-rapat agar suara Papa tidak bocor ke luar dan berujung dihajar penduduk Nexus. "Sebenarnya, kalian tak akan pernah menyiapkannya, 'kan?" tanyaku sekenanya.

Tak disangka perkataanku membuat Papa terdiam.

Ingatan 10 tahun yang lalu tiba-tiba terlintas begitu saja di benakku, saat ibu kota dipindahkan dari Nexus ke IKB atas mandat dari seorang presiden yang baru dilantik beberapa bulan. Saat itu aku masih terlalu kecil untuk menyimpulkan, bahwa mandat dadakan itu tidak akan terlaksana jika tidak dilindungi kepentingan sekumpulan orang besar, semacam Papa dan kumpulannya.

"Anggap kamu tidak pernah mengatakannya, Nak," perintah Papa setelah sadar bahwa reaksiku tidak sepenuhnya berpihak dengan permainan kotor mereka. Dia menyesap teh lagi.

"Oh, oke. Ada lagi?"

"Lupakan juga guyonan tadi, pekerjaan eni kadang merusak selera humor orang tua."

"Guyonan apa?" kataku berpura-pura bingung. Artikel itu lalu kuarahkan ke ikon trash dan history percakapan kami pun aku hapus. "Lihat? Sejak kapan aku peduli pada politik? Sejak kapan aku tertarik dengan mainan Papa?"

Aku tidak bohong. IKB adalah bentuk kegilaan dewan negara. Siapa yang ingin mengotori tangan dan mencari masalah dengan mereka? Lagi pula, aku setuju; akan lebih mudah bagi pejabat-pejabat itu meraup keuntungan dari IKB ketimbang Kota Nexus yang sudah berpolusi dan bobrok lingkungannya.

"Pikiran mahasiswa tidak ada yang tahu. Kalian tidak punya hubungan dengan politisi mana pun, tapi tetap saja suka mengganggu," kata Papa bernada skeptis.

Aku pun menyisir rambutku dengan tangan demi menutupi senyuman. Geli. Barangkali Papa lupa apa tujuanku ke sini atau mungkin dia lupa aku ini masih anaknya yang penurut. Pengkhianatan sekecil apa pun tidak ada untungnya buatku.

Kali ini wajah Papa sudah kelihatan lagi di tampilan hologram dan bisa ditebak dia sekarang berada di pusat gedung IKB. Papa bilang ada pertemuan darurat yang harus dihadiri seluruh perwakilan provinsi, meski kenyataannya dia sendiri sudah telat lebih dari 30 menit.

Aku mempersilakannya, lalu menghentikan AR hologram karna kemunculan glitch semakin parah seiring makin ke dalam mobilku membelah jalanan bagian timur Nexus. Tapi hari ini, tujuanku bukan untuk mencari endapan yang Profesor John minta. Sekitar 100 meter lagi ke depan sana, terlihat seorang seniman sedang sedia menunggu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 21, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Broken FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang