Sharon mengerutkan dahi karena hantaman palu terasa menyergap kepalanya. Semakin memusingkan sehingga ia menutup mata dan menarik kencang rambutnya yang panjang.
"Sialan ... " makinya mendesis.
Kepalanya makin berdenyut untuk memproses. Sharon baru saja bangun dari pingsan tadi. Ya, sebenarnya Sharon telah pingsan sekali sebelum ini karena hal tak masuk akal yang ia alami.
Pertama, saat ia membuka mata setelah insiden tadi pagi—dirinya yang terpeleset di kamar mandi, Sharon tiba-tiba bangun di tempat aneh dengan banyak pelayan dengan seragam mirip di manhwa tema kerajaan yang sering ia baca, berada di sekelilingnya.
Yang pastinya, ada adegan Sharon bingung sampai seorang pelayan di sampingnya justru terus menerus menyebutnya Duchess dan nama Sharon. Awalnya ia akan terpingkal karena tertawa sebelum menatap tajam pelayan itu.
Gila saja.
Duchess?
Apa-apaan itu!
Sharon hanya gadis 19 tahun yang baru saja kabur ke rumah sang nenek karena penyiksaan sang Ayah. Ia tidak mungkin tiba-tiba berperan sebagai tokoh opera yang biasa dipentaskan cuma-cuma di taman tiap sore.
Sharon kala itu yang masih berusaha menangkap hal tidak masuk akal ini justru dibuat terdiam saat laki-laki bersurai pirang dan mata amber keemasan masuk ke dalam kamarnya. Tidak ada tatapan bersahabat dari sosok tersebut.
"Duke ... " sapaan serentak dari pelayan membuat fokus Sharon teralih. Pria dengan kemeja putih formal terlapis mantel mengibaskan tangannya, memerintah seluruh pelayan keluar yang tanpa pikir dua kali dituruti.
Sharon masih ingat saat itu tidak ada yang percakapan diantara mereka, pria yang disapa Duke tampak tak asing di matanya. Rambut pirang yang tampak halus, matanya terlihat begitu memikat, dan bekas luka di alis sebelah kirinya.
Demi Tuhan! Sharon benar-benar merasa tak asing dengan pria itu!
"Ka—!"
"Jadi kau gagal lagi, Duchess?"
Ucapan Sharon terpotong ketika tangan besar pria itu mencengkram rahangnya. Terlalu kencang hingga terasa menyakitkan.
"Kau mulai berani menjadi pembangkang ya, sekarang?"
Masih dengan mencengkram rahang Sharon, ia melanjutkan. "Apa tanganmu mulai menjadi suci? Ah, atau aku juga harus turun tangan untuk pekerjaan yang kali ini juga?" Tekannya seraya menarik Sharon mendekat.
Netra amber itu tampak jenaka, jika sang empu tersenyum ramah hingga matanya membentuk sabit. Sialan Sharon! Kamu hafal seluruh ekspresinya tapi lupa dia siapa!
"Aku memberimu waktu lagi kali ini." Tangannya menghempaskan Sharon ke belakang hingga kepalanya yang belum sembuh kembali berdenyut keras karena menghantam kepala ranjang dari kayu. Tenaga pria itu tidak main-main.
"Hanya sampai lusa, aku tidak butuh waktu lama sebelum reputasimu tersebar buruk di seluruh pergaulan atas kesayanganmu."
Sharon melebarkan mata ketika mengingat kalimat terakhir diucapkan pria tersebut sebelum ia kembali pingsan karena darah yang berjatuhan dari belakang kepalanya.
Ia mengingatnya.
"Duke Ambrose ... " matanya memejam sesaat.
"Aku masuk ke novel?!" Decaknya tak terima.
"Sial! Sial! Sial!" Sharon kembali menarik rambut pirangnya. Rasa sakitnya tak seberapa dibandingkan hantaman pria tadi.
Di pingsan sesi dua tadi, ia diberi ingatan kilas balik acak oleh pemilik tubuh yang ia ketahui juga bernama Sharon. Tepatnya Sharon Flynn. Meski itu adalah ingatan asli pemilik tubuh, hanya berisi adegan kekerasan, pembunuhan, dan hal gelap menjijikan lainnya yang tak ia ketahui. Ia juga mengingat beberapa nama-nama termasuk Ambrose—pria yang sempat mengancamnya dan beberapa lagi.
Tidak ada ingatan kejadian apapun di antara mereka selain peristiwa mengerikan dari ingatan Sharon tadi.
"Naomi!" Panggilnya setelah melamun sesaat.
Pelayan setengah baya itu masuk ke dalam kamar. "Salam Duchess. Apakah Duchess memerlukan sesuatu?"
Sharon turun dengan tergesa dari ranjang, kaki telanjang miliknya menyentuh marmer dingin secara langsung. Ia setengah berlari menuju meja rias dengan kaca besar di tengahnya.
"Yang Mulia." Naomi berujar khawatir. "Yang Mulia baik-baik saja?"
Sharon tidak membalas pertanyaan Naomi. Ia menatap lamat pantulan dirinya di kaca. Rambut panjang berwarna pirang menyentuh pinggang, mata amber yang jernih, bibir tipis merekah, hidung mancung dengan tatanan mata sayu yang terlihat lembut.
Gila!
Sharon merasa tidak akan berhenti mengumpat sekarang.
Ia benar-benar masuk ke salah satu novel. Dengan perawakan mirip ini, Sharon bersumpah bahwa ia adalah salah satu hidden karakter tanpa nama di sana. Dan sialnya, ia adalah pion penting sang Duke yang selama ini tersembunyi.
"Naomi ... " Sharon berbalik, ia memandang wanita paruh baya berkulit tan di depannya. Ia mengingat namanya karena pada ingatan tersebut, Naomi terus muncul secara acak di sisinya.
"Apa tugas terbaru dari Duke yang telah gagal aku lakukan?"
Benar. Sharon adalah pasangan Duke Ambrose. Tidak sebatas pasangan suami istri, Sharon adalah darah dari tangan kotor Duke Ambrose yang rupawan di mata rakyatnya.
Ia adalah bidak Duke. Dipungut, dimanfaatkan, dan dikambing hitamkan.
Mata Naomi bergetar sesaat. "Duchess menolak untuk melakukan karena berpikir bahwa hal ini terlalu merugikan."
"Kenapa? Ah, tidak. Maksudku tugas apa?"
Mata Sharon memicing.
Nafas Naomi berhembus lelah. "Membawa kepala jasad Lady Brenya dengan utuh dan dikirim ke wilayah Selvester."
•
hiii
omgg, ini aku pub ulang
ada yang masih ingat? dulu baru 3 bab, sengaja karena mood buat balik ke sini kayaknya lumayan besar
semoga aku dapat ilham sehingga ini cerita ini bakalan tamat🙏🏻
see u bae
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Dream Husband!
FantasySharon ingat saat dia terpeleset dari kamar mandi dan tiba-tiba masuk ke salah satu novel yang pernah ia baca. Kabur ke rumah nenek untuk menghindari penyiksaan dari Ayahnya, ia justru masuk ke lubang masalah lebih besar saat menyadari ia adalah ka...