1. Kembali

16 2 0
                                        

Melupakan paling mudah adalah dengan meninggalkan kota tempat kenangan dibuat. Harus nya memang begitu, namun kebenarannya kemanapun kamu pergi jika masih ada ruang celah untuk kenangan itu mencuat semua akan terasa sia sia.

Sekuat apapun menghindar, sejauh apapun pergi, jika masanya belum berakhir itu akan sama saja. Yang harus dilakukan hanya harus terbiasa dengan setiap hal yang mengingatkan dengannya.

Uhukk... Debu menggelitik rongga hidungku, belum lama namun kenapa rasanya rumah ini sudah bertahun tahun tidak di tempati. Debunya sangat tebal hingga membuat dadaku sesak. Entah sesak karena debu atau karena setiap sudut rumah ini yang mengingatkan ku padanya.

Kemoceng yang sejak tadi ku gunakan untuk membersihkan beberapa foto itu kuletakkan. Aku berdiri cukup lama memandang foto ukuran besar yang terpajang di dinding ruang tamu itu, termenung melihat sosok pengantin pria dengan senyum manis itu. Bibir merah alami yang dulu ku kira hasil perawatan tapi ternyata bukan.

"Kamu pake lips produk apa sih kok bagus? Perawatan ya?" Tanya ku kala itu, tepat setelah dia mengungkapkan perasaannya kepadaku. Di atas gedung yang mana di hari itu juga dia berpamitan untuk menjalankan tugasnya.

"Nggak pake apa apa."

"Alah! Nggak percaya"

"Aku cuma nggak ngerokok" aku menoleh oleh jawaban itu, memang sejak awal kenal aku belum pernah melihat rokok atau jenis rokok elektrik bersamanya.

"Kenapa? Bukannya cowo kalau nggak ngerokok tuh nggak keren ya?"

"Siapa yang bilang?"

"Itu, aku barusan" kataku meletakkan kepala di pundaknya.

"Jadi menurut kamu kalau nggak ngerokok nggak keren?" Dia menunnduk sebentar untuk menyempatkan melihatku yang juga mendongak melihatnya.

"Ya enggak juga sih!"

Hening, Karena bersama laki laki ini aku mengetahui banyak makna di balik keheningan itu. Dimana dia dalam heningnya memikirkan cara mencintai dengan luar biasa. Aku merasakan itu, semakin hening semakin nyaman dan menenangkan.

"Aku nggak mau ngerasain bibir kamu campur sama rasa rokok. Sekalipun aku candu, aku akan usahain itu candu sama kamu. Bukan rokok atau yang lain" ungkap nya. Sudah ku bilang, dia dan keheningannya adalah perpaduan tepat yang tidak akan ku pungkiri hasilnya. Selalu berhasil membuatku salah tingkah.

"Sama sama dihisap, jadi buat apa aku milih ngisap yang ngerugiin buat tubuh? Sementara ada kamu"

Aku kembali tersadar, senyum dan bibir itu tak lagi bisa ku lihat secara nyata. Fakta bahwa Mas Rian sudah pergi memang benar ada nya. Aku hanya berimajinasi karena terlalu merindukannya.

Dua bulan yang lalu, aku memutuskan untuk kembali ke kota kelahiranku. Menuruti perintah Mama untuk kembali, mungkin Mama tidak tega melihat ku berjuang sendiri merawat Sinar.

Sinar Savana Dirgantara, aku memanggilnya Sinar seperti pesan mendiang Ayahnya. Seperti namanya pula aku dan Mas Rian berharap semoga anak yang hadir ini akan mampu menyinari dan melengkapi keluarga kecil kami.

Itu  hanya harapan manusia. kembali lagi, manusia hanya bisa berharap sementara Tuhan lah yang menentukan. Beberapa bulan sebelum Sinar lahir aku justru dibebankan akan kehilangan. Kehilangan Nahkoda kapal untuk keluarga kecil kami. Hari itu, Fajarian Areno Dirgantara mengorbankan nyawanya demi aku dan Sinar.

Another of FarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang