2. Cerita kepergiannya

9 1 0
                                    

Dorr... suara tembakan itu menggema memenuhi segala isian kepala. Sirine ambulan yang terus menerus berputar. Langkah kaki yang berlarian, bahkan lututku pun rasanya ingin berteriak jika kupaksakan berlari lagi namun, untuk saat ini aku ingin terus bersamanya.

Pria itu membutuhkanku, tidak! Aku membutuhkannya. Aku bisa kehilangan apapun tapi aku tidak bisa kehilangan dia. Demi Tuhan, sakit di kaki dan perutku tidak ada apa apa nya di bandingkan luka pria itu karena menyelamatkanku.

"Fara berhenti! Ingat kamu nggak sendirian kamu bawa anakmu!" Pekikan frustasi itu, aku mendengarnya. Namun tetap saja aku abaikan.

Aku masih terus berlari, mengejar bangkar yang membawa Mas Rian masuk ke ruang IGD.

"Maaf, mohon tunggu di luar."

Aku menggeleng, air mataku terus mengalir bahkan sampai rumah sakit. Aku tetap memaksa masuk meski petugas medis mengahalanhi langkahku.

"Saya cuma mau nemenin suami saya!" Kataku sembari terisak.

"Mohon maaf. Tidak bisa bu, anda harus menunggu. Biarkan tim dokter menangani pasien."

Sampai akhirnya pintu IGD di tutup. Aku semakin terisak dan merosot ke lantai. Aku memandangi pintu didepanku sambil menangis sendu.

"Dek,"

Ketika melihat siapa yang memanggil, aku berhambur memeluknya, menumpahkan semua kesedihan di dada itu. Memeluk dengan erat berharap kesedihan dan luka ini bisa ku bagi dengan nya.

"Pa... mas rian... pa"

"Hustt... Rian nggak akan kenapa napa" elusan di surai rambutku itu hanya semakin membuat tangisku menjadi hingga kurasakan dada ini mulai sesak. Nafasku tersenggal.

"Mas... Ri.. an.., paa..." dan gelap, kala itu saking sedihnya aku pingsan dalam pelukan Papa.

"Fara, Fara,  Ayuna Safara Anindita!" Aku mendengar namaku di panggil dengan samar. Tepukan ringan di pipiku juga ku rasakan. Kukerjapkan mata beberapa kali untuk beradaptasi dengan cahaya lampu. Yang ku lihat hanya ruangan serba putih dan bau minyak serta obat obatan yang tercampur.

Beberapa kali kudengar helaan nafas dalam dari orang orang disana. Mama menggenggam tanganku yang terbaring di ranjang. Aku melihat wajah sendunya. Tampaknya Mama berusaha menahan tangis.

"Mas Rian gimana?" Tanyaku ketika kesadaranku sudah terkumpul sempurna. Aku berusaha bangkit dari ranjang yang langsung di bantu oleh Mama. Terlihat jelas kekhawatiran di wajah cantik itu.

"Rian masih di tangani dokter. Pelurunya udah berhasil di keluarin tapi, dokter bilang pelurunya beracun. Kamu disini aja. Tadi kamu ngedrop. Tenang aja disana ada Papa sama Bang Alfa." Kata Mama. Bang Alfa adalah kakakku. Juga, suami dari wanita yang merupakan dalang dari kejadian ini.

Aku menggeleng "aku mau nemuin mas rian"

Mama sempat melarangku namun setelah perdebatan kecil beliau memilih mengalah dan akhirnya membantuku berjalan ke ruang igd.

Tak jauh dari tempatku berdiri sekarang aku dapat melihat papa dan Bang Alfa serta satu pemuda yang sedikit berada lebih jauh dari sana. Aku mendekat menghampiri Papa.

"Pa, gi..-

Kata kataku terpotong dengan suara pintu yang terbuka. Menampilkan sosok ber jas putih lengkap dengan maskernya.

"Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, paisien tidak bisa kami selamatkan"

Duarrr!!!

"FARA!! Are u oke?" Mataku terpejam, tanganku bergetar hebat. Aku meremat jemariku. Benar, suara itu selalu berhasil membuatku ketakutan setengah mati. Suara yang tak hanya merenggut suami ku tapi juga setengah hidupku.

Another of FarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang