Hai, aku Mayra. Pakai 'a', tapi bacanya pakai 'e', Meyra. Memang ribet, tapi mau bagaimana lagi. Orang tuaku yang memberiku nama itu. Aku suka dengan namaku, walaupun kadang sebel juga karena banyak orang yang salah menuliskannya.
Hari ini aku pulang sekolah lebih awal. Sebagai siswi kelas 3 SMA yang sisa masa sekolahnya berakhir sebentar lagi, hari-hari seperti ini rasanya seperti kenikmatan yang harus disyukuri. Walaupun agenda pulang lebih awal ini ada karena seluruh siswa tahun akhir akan menghadapi ujian di hari senin besok, aku cukup merasa puas dengan satu hari yang bisa aku luangkan untuk bersantai ini. Waktunya refreshing!
Namun ternyata tidak semudah itu, cafe yang menjadi tujuanku ternyata sedang luar biasa ramai. Dari luar aku tidak menyadari keramaian itu, namun tak kusangka semua meja telah terpenuhi. Tidak ada satupun meja yang belum terisi.
"Cari tempat duduk mbak? Kalau berkenan bisa duduk disini saja, satu meja dengan saya. Kebetulan saya sendiri kok." Aku terkejut mendengar pernyataan yang tidak kuduga. Seorang pria yang duduk di meja dekat pintu masuk menawariku untuk duduk bersamanya.
Pria itu memiliki potongan rambut yang rapi, memakai kaos berwarna kuning yang dilapisi kemeja kotak-kotak berwarna hijau. Ia menatapku sambil tersenyum ramah. Aku membalasnya dengan senyuman yang kikuk,
"Gapapa, mas? Masnya udah mau selesai?" tanyaku ragu.
"Belum sih, saya juga baru pesan. Tapi kalau mbak mau duduk bareng sama saya gapapa kok, karena kayaknya udah ga ada meja kosong. Saya lihat juga mbaknya keliatan udah capek kepanasan."
Ia benar. Cuaca hari ini sangat panas, aku bisa merasakan bulir-bulir keringat yang mengalir di balik bajuku. Tapi duduk satu meja dengan orang yang benar-benar asing bukanlah ide yang bagus. Selain kepribadianku yang cenderung sulit untuk bersosialisasi, aku tidak tahu apakah orang ini memanglah baik atau memiliki niat buruk terhadap diriku.
Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk duduk. Dalam hatiku aku terus berharap tidak akan terjadi hal-hal kurang menyenangkan hari ini, terutama berhubungan dengan orang yang duduk di depanku ini. Namun dari wajahnya, pria ini terlihat baik. Bahkan ia memanggilkan pramusaji untukku.
Aku memesan beberapa kudapan dan minuman, yang mengundang tatapan heran dari pria baik hati di depanku. Ia mengalihkan pandangan dari ponselnya kepadaku setelah pramusaji meninggalkan meja kami. Sedikit tidak nyaman, tapi aku bisa paham. Memang mengherankan, seorang perempuan yang datang seorang diri namun memesan tiga menu kudapan dan dua minuman. Tapi seharusnya tidak masalah, bukan? Tatapan yang diberikan pria itu tidak teralihkan selama beberapa menit, membuatku merasakan panas yang sedikit demi sedikit menjalar di pipiku.
"Ada apa ya mas? Rambut saya aneh kah?" tanyaku memberanikan diri.
"Mbak lagi nunggu teman?" balasan pertanyaan dari pria itu membuatku ikut heran.
"Ngga mas, kenapa tiba-tiba tanya gitu?" Aku bisa melihatnya menghela nafas lega, membuatku semakin penasaran.
"Oh, syukurlah mbak. Soalnya cuma ada dua kursi."
Setelah itu hening. Baik aku maupun mas-mas itu sama-sama sibuk dengan ponsel kami masing-masing. Rasanya canggung, orang yang melihat kami mungkin berpikir kami adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar.
Tunggu. Sepasang kekasih? Kenapa tiba-tiba aku membayangkan kami adalah sepasang kekasih?
Tanpa sadar aku mengibaskan tangan di depan wajahku, berharap imajinasiku dengan pria yang tidak kukenal di depanku ini segera buyar. Tentu saja, hal bodoh yang baru saja aku lakukan disadari oleh pria di depanku.
"Ada apa mbak? Ada nyamuk?" Dengan cepat aku menggeleng-gelengkan kepalaku sebagai respon.
"Ngga mas, gapapa kok," jawabku sambil tertawa canggung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mayra
Teen FictionMayra, pakai 'a' tapi bacanya pakai 'e' jadi Meyra. Mahasiswa biasa dengan segala usahanya untuk menjalani kehidupan.