02. Rindu ayah

96 44 4
                                        

Namaku Lea reymond. Saat ini usiaku 19 tahun. Semenjak ayahku dipenjara, aku tinggal seorang diri di kota bernama Althar, ibu kota negeri Kayros.

Tapi aku tidak benar-benar sendirian di sini. Aku mempunyai sahabat. Sahabat masa kecilku, Vin. Gadis seumuranku. Anak penjual roti di kota Althar. Dia selalu ada membantuku, apalagi sejak ayahku ditangkap. Kehadiran Vin benar-benar membuatku tidak merasa kesepian.

Sejak kecil aku bermimpi menjadi prajurit kesatria kerajaan. Atau bahkan lebih hebat lagi, kesatria terbaik di negeri ini.

Selama ini, ayahku selalu mendukungku. Ia selalu menjadi guruku yang memberitahuku cara menggunakan senjata, bagaimana berkuda, dan teknik bertarung. Jika soal mendidik, ayahku itu bisa tiba-tiba menjadi sangat keras, tegas.

Aku masih ingat sekali, saat umurku 15 tahun. Aku diminta berlari sejauh 5 kilometer dalam waktu 35 menit saja.

”Ayo berdiri, Lea. ” ayah datang menghampiriku. Aku yang baru saja selesai belajar menunggang kuda ini masih sangat lelah.

Akhirnya aku berdiri. ”Berdirilah dengan tegak! Kau tidak akan menjadi kesatria bungkuk di kerajaan, kan? ” ayah menepuk punggungku dengan tongkat kayu yang selalu ia bawa ketika mengajariku.

Aku mendengus, menegakkan tubuh. Aku menghela napas, menyeka keringat di dahi.

”Berlarilah sampai danau dekat ladang. ” aku langsung melotot, gila! Itu berjarak 5 kilometer.

”T-tapi, ayah. Itu jauh sekali, bagaimana... ”

”Waktumu 35 menit, dimulai dari sekarang. ” aku berdecak. Langsung berlari. Mau tidak mau harus kulakukan bukan?

Lucu setiap aku mengingat momen itu. Aku berusaha berlari sekencang mungkin, dan itulah yang kulakukan. Tapi aku tahu sebenarnya lariku saat itu sangat lambat.

Napasku menderu hebat ketika aku telah sampai ke danau. Aku lelah sekali, aku langsung menjatuhkan diri. Berbaring di serumputan. Dadaku naik turun mencari oksigen sebanyaknya.

”Duduk, Lea. ” ayah menghampiriku, menyenggol kakiku dengan tongkatnya.

Aku merengek. Tubuhku sudah lemas luar biasa. Aku butuh berbaring, tapi malah diminta bangkit. Ingin kumenangis saat itu juga. Tapi akhirnya tetap kuturuti. Aku duduk bersandar pada batu besar.

”42 menit, ” ujar ayah. Aku menjatuhkan kepala di atas batu besar. Menghela napas panjang. Aku tahu aku tidak tepat waktu, tapi haruskah disebutkan sekarang? Ugh! Aku menjadi lelah lagi.

Benar, 42 menit. Jarak yang cukup jauh dari waktu yang ditargetkan. Saat itu aku kesal sekali tidak bisa mencapai target. Tapi bagaimana lagi, lariku seperti siput.

”Tidak masalah, Lea. Itu sudah bagus sekali. Kau tahu, waktu sebenarnya untuk menempuh jarak ini sekitar 1jam. Tapi kau bisa menyelesaikannya hanya 42 menit. Ayah bangga padamu!”

Tunggu, apa? Aku bangkit, mulutku terbuka. Sulit dipercaya! Aku senang sekali.

”Dan satu lagi, kau tidak seperti siput. Kau hebat, Lea! ” ayah mengacak-acak rambutku sebelum ia melangkah pergi. Aku diam-diam tersenyum sendiri. Aku tidak tahu bisa sehebat itu.

Ayah memang terkesan keras saat melatihku. Dulu aku sempat kesal, sempat berpikir mundur saja menjadi kesatria. Dan sekarang aku tahu itu semua demi diriku. Latihan keras bertahun-tahun ini berbuah manis. Menjadikan aku gadis yang tangguh, tahan banting.

~……♤……~

Lea turun dari pelana, melangkah masuk ke dalam rumah. Rumah yang sekarang menjadi sepi. Tidak ada lagi keramaian oleh para pelanggan sang ayah untuk memesan senjata, tidak ada lagi suara bising dari alat-alat besi sang ayah yang beradu, menempa besi-besi panas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 05, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pejuang CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang