Suara gemuruh petir dan rintik hujan yang menghiasi kota pagi ini. Seorang gadis berambut sebahu dengan seragam putih abu-abu menempel indah di tubuh minimalisnya, tengah melamun di balkon kamar, memandang tetesan demi tetesan air hujan yang lama kelamaan menjadi deras.
"Kamu tidak sekolah, Alana?" tangan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dengan umurnya yang sudah memasuki kepala empat, terulur membelai lembut rambut putri satu-satunya.
Alana mendongak, memandang wajah menenangkan ibunya sambil tersenyum menampakkan lesung pipit yang ada di pipi kanannya. Manis sekali.
"Hujan, Bunda," ucapnya sambil bergelayut manja di lengan Tika, ibunya.
Tika tersenyum melihat tingkah manja Alana. Dari dulu sampai sekarang, Alana masih belum berubah sama sekali. Kelakuannya masih seperti anak kecil yang manja. "Kamu 'kan naik mobil. Sana gih, nanti terlambat loh."
Alana melepaskan tangannya dari lengan Tika. Bibirnya manyun, cemberut.
"Hujan itu waktunya tidur, Bun. Lagian gurunya juga nggak bakalan masuk. Bolos sekali saja boleh, nggak?"
Tika menggeleng. "Tidak. Ayo sekarang kamu turun ke bawah, Mang Tarno udah nunggu itu!"
"Iya, Bunda Tika yang cantik," ucapnya lesu. Alana mengambil tas ransel abu-abunya, mengecup punggung tangan Tika, lalu kemudian berjalan menuruni tangga satu demi satu dengan lunglai. Lagian, siapa sih guru yang akan masuk ditengah hujan begini. Hujan tuh enaknya selimutan sambil nonton anime ditemani indomie hangat. Beeuuhhh memikirkannya saja sudah membuat perut keroncongan.
"Sudah siap, Neng?" tanya Mang Tarno yang sedari tadi menunggu di teras rumah sambil meminum kopi hangat.
Alana hanya mengangguk.
Mang Tarno, supir pribadi keluarga Alana, memberikan payung kepada majikannya agar seragam dan tasnya tidak basah saat berjalan menuju mobil.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.48 waktu setempat. Udara dingin yang menusuk kulit tetapi menyegarkan, suara gemuruh, serta hujan yang tak kunjung mereda adalah pemandangan kota Jakarta akhir-akhir ini.
Alana mengambil jaket tebal yang selalu ia persiapkan di mobil, lalu memakainya. Sesekali ia sedikit mengeratkan jaket tersebut. Kapan hujan ini akan berakhir? apa akan terjadi banjir lagi? Alana menoleh ke arah samping, memperhatikan buliran air yang mengalir di kaca jendela mobil. Sesekali ia juga memperhatikan jalanan yang sedikit demi sedikit airnya sudah mulai menggenang.
"Sudah sampai, Neng.
Suara Mang Tarno sedikit mengejutkan Alana yang sudah hanyut dalam lamunannya.
Ah, iya. Alana bersekolah di SMA Andalansia, kelas dua belas MIPA 2. Sekolah ini merupakan salah satu dari beberapa sekolah paling baik dan terkenal di kotanya. Karena sekolahnya adalah salah satu sekolah terbaik, maka murid yang bersekolah di sana pun adalah murid-murid terbaik. Semuanya berprestasi, entah itu soal akademik ataupun non-akademik.
Alana bergegas turun, tidak lupa mengambil payung pemberian Mang Tarno. Hujan belum juga reda.
"Lan!" Seru seseorang dari kejauhan.
Alana mencoba memicingkan matanya, berusaha melihat wajah seseorang yang berada kira-kira sepuluh meter dari posisinya berdiri. Jika kalian menganggap Alana rabun, maka jawabannya adalah tidak. Hujanlah yang menghalangi pandangan matanya.
Daripada mencoba menebak-nebak, ada baiknya Alana menghampiri saja. Sekalian jika itu temannya, ia akan mengajaknya ke kelas Bersama.
"Kamu toh, kirain siapa," ucap Alana sesaat setelah berdiri tepat di hadapan orang yang memanggilnya tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUTTERFLY
Teen FictionLayaknya kupu-kupu, indah namun sulit untuk digapai. Kamu mungkin bunga, tapi kamu bukan bunga yang ia inginkan. !!Belum direvisi!!