Wildan menoleh sekilas, melihat wajah Alana yang tampak menyebalkan dimatanya. Ia menyimpan tas hitam miliknya, lalu memilih untuk fokus dengan ponselnya. Alana menghela nafas berat. Sudah dua tahun ia selalu mendapatkan perlakuan seperti ini dari Wildan. Terhitung sejak kelas sepuluh, Alana sudah mulai melirik Wildan.
Memang, Wildan adalah laki-laki tertampan di kelas itu. Tubuhnya yang tinggi dan atletis, mata elang, bibir tebal, dan alis tebal. Semua itu adalah kesukaan para wanita dan hal itu ada di diri Wildan. Namun, meskipun banyak yang mengagumi Wildan, tapi hanya Alana yang terang-terangan mengejarnya. Semuanya takut jika sudah mendapat lirikan tajam dari Wildan.
"Tumben terlambat? macet ya? atau karena hujan? Akhir-akhir ini hujan terus, ya. Aku bahkan khawatir kalau."
"Lo bias diem?!" Perkataan Wildan berhasil menciutkan nyali Alana untuk melanjutkan basa-basinya. Ini pertama kali Wildan bicara padanya, tapi ini juga pertama kali Alana merasa sesak dengan kata-kata Wildan. Apa dia serisih itu?
Senyuman Alana perlahan memudar. Ia berjalan gontai ke tempat duduknya, di sebelah paling kanan bagian depan.
"Jangan terlalu berharap."
Alana menatap Ilmi. Sahabat serta teman sebangkunya dengan tatapan sendu.
"Kenapa, ya?" Alana menoleh ke belakang, tempat Wildan duduk.
"Karena Lo bukan yang dia mau."
Alana tersenyum miris. Terdengar menyakitkan tapi itu memang faktanya. Alana saja yang selalu menolak fakta yang sudah jelas di depan matanya.
"Kalau kata gue sih, lupain aja. Banyak orang yang mau sama Lo," ucap Ilmi lagi sambil mengikir kukunya santai.
"Kalau banyak yang suka sama aku, kemana semua itu? Kenapa sampai sekarang nggak ada yang ngedeketin?" Alana merampas kikir kuku Ilmi. Rasanya menyebalkan jika lawan bicara kita hanya sibuk dengan aktivitasnya tanpa memperhatikan kita yang lagi bicara.
"Karena Lo ngehalangin orang yang deketin Lo. Lo sadar nggak, sih. Kalau ada yang mau deketin Lo. Lo selalu bilang kalau Lo punya pacar. Siapa juga yang mau deketin pacar orang, Na!"
"Aku takut mereka cuma penasaran."
"Lo nggak mungkin tau, kalau Lo belum coba."
"Kalau mereka cuma nyakitin gimana?"
"Terus yang Lo lakuin sekarang, apa itu nggak nyakitin Lo? Gue bahkan muak liat kelakuan Lo yang tiap hari ngejar manusia dingin itu. Lo nggak bosan? Lo nggak kasian sama hati Lo? Lo nggak mau bahagia? Lo mau kayak gini terus? Kapan logika Lo berjalan sih, Na? jangan bodoh hanya gara-gara Lo suka sama dia. Harga diri Lo, Lo taro dimana?"
Alana terdiam. Kata-kata Ilmi semuanya benar, Alana bahkan nggak tau kenapa ia bisa seperti ini. Untuk mengabaikan Wildan satu hari saja rasanya tidak bisa. Tanpa menyapa Wildan satu hari saja rasanya seperti melewatkan sesuatu yang berharga.
"Kamu nggak bakalan ngerti, Mi," lirihnya.
"Terserah Lo deh. Gue capek!" Ilmi kembali mengikir kukunya yang tertunda hanya gara-gara meladeni sikap bodoh Alana.
Alana hanya mengangguk. Jika ia menjadi Ilmi pun, ia akan secapek itu. Tapi, apa boleh buat. Perasaan nggak bisa dipaksa, dan perasaan nggak bisa berhenti begitu saja.
***
Pukul 10.00 adalah waktunya istirahat. Seisi kelas berhamburan keluar, menuju kantin untuk mengisi perutnya yang mulai lapar. Dalam hitungan beberapa detik saja, suasana kelas kini sudah mulai berubah menjadi sepi. benar-benar the power of lapar.
Kini tinggal dua orang yang tersisa. Yap, Alana dan Wildan. Alana sengaja untuk tidak keluaragar bisa mengambil kesempatan untuk berduaan dengan Wildan.
Wildan memang terbilang jarang sekali ke kantin, entah apa alasannya. Padahal Wildan tidak membawa bekal, tapi ia begitu tahan duduk berjam-jam tanpa meninggalkan kursinya hingga jam pulang tiba. Wildan akan hanya beranjak dari kursinya jika ia akan ke toilet, ruang guru, atau perpustakaan. Selain itu, jangan harap ia akan meninggalkan singgasana ternyamannya.
Ah, atau mungkin Wildan betah di dalam kelas karena jika ia keluar, maka para siswi-siswi yang kecentilan akan berbisik-bisik dengan mata yang berbinar-binar. Ketampanan Wildan memang sudah merajalela di SMA Andalansia. Lagian, siapa sih yang tidak kagum ketika pertama kali melihat wajah Wildan. Namun, sesempurna apapun penampilan manusia di mata manusia lain, sudah pasti ada kekurangannya. Ya, meskipun memiliki tubuh yang terlihat atletis, akan tetapi Wildan tidak bisa mengikuti pelajaran olahraga jika di sekolah.
Eummmbukan tidak bisa sih, hanya saja tidak boleh. Itu karena dari kecil Wildan menderita penyakit Asma. Rumornya seperti itu. Tapi entahlah, itu benar atau tidak. Toh, Wildan tidak pernah bilang apa-apa tentang rumor-rumor tentang dirinya.
"Wildan." Alana menarik kursi lalu duduk di samping Wildan.
"Aku nggak tau salah aku apa sama kamu. Oke, Aku jujur, aku suka sama kamu dan mungkin kamu sudah tau itu." Alana menoleh, menatap Wildan yang masih asyik dengan ponselnya. "Tapi kalau gara-gara itu yang buat kamu nggak mau deket atau ngobrol sama aku, aku akan berusaha untuk tidak suka sama kamu lagi."
Alana kembali menoleh ke arah Wildan. Wildan bergeming, tak ada tanda-tanda bahwa Wildan akan menjawab perkataan Alana tadi. Alana sadar, sebaiknya ia mengikuti perkataan Ilmi untuk mundur saja. Tapi, ini bukan kali pertama Alana mencoba untuk melupakannya, Alana sudah mencobanya beberapa kali, tapi gagal. Apa ia harus pergi dari kehidupan Wildan agar ia bisa melupakannya? Sebentar lagi adalah hari kelulusan, Alana akan mencoba.
Alana bangkit dari tempat duduknya, ya memang benar Alana harus belajar melupakan Wildan dari sekarang, bagaimanapun caranya.
"Maaf kalau kamu selalu merasa risih. Hari ini, aku izin untuk mundur. Tenang saja, tidak akan ada lagi yang mengganggumu tiap hari,"ucapnya lirih.
Alana berbalik badan, melangkah gontai menuju keluar kelas.
"Lo tau gue."
Alana yang sudah berada di ambang pintu, tiba-tiba berhenti. Ia berbalik, menatap Wildan yang juga sedang menatapnya. Ini kali pertama ia bisa bertatap-tatapan dengan Wildan.
"Maksud kamu?"
Wildan berjalan ke arah Alana. Detak jantung Alana semakin terpacu tatkala jarak mereka sudah semakin dekat. Apa ini?
"Lo tau gue kan? Lo tau karakter gue kayak gimana. Jadi." Wildan menatap lekat mata Alana.
"Jadi?" tanyanya. Ini semua nyata kah? Kalau iya, ini adalah part paling indah dalam hidup Alana. Tatapan tajam tapi teduh, membuat lutut Alana lemas.
"Jangan menyerah dulu."
Mengernyitkan keningnya bingung. Alana kembali menatap mata tajam itu. Maksudnya, Alana tidak boleh mundur? Alana harus berjuang terus? Tapi, sampai kapan? atau.
"Alana, bangun. Hey!"
Alana mengerjapkan matanya beberapa kali hingga akhirnya tersadar sepenuhnya. Sejak kapan ia tertidur, perasaan tadi ia sedang berbicara dengan Wildan. Apa itu cuma mimpi?
"Wildan mana?"
"Udah pulang.
lagian tumben banget Lo tidur di kelas? untung hari ini guru lagi rapat, jadinya jamkos. Kamu sakit?" Ilmi menempelkan punggung tangannya ke kening sahabatnya itu, tidak panas. Artinya tidak sakit.
"Jadi mimpi, ya?"
"Mimpiin Wildan?"
Alana mengangguk.
"Huufftt aku cuma mau ingetin. Kodratnya perempuan itu dikejar, bukan mengejar."
Alana menghela hapas pelan. "Semoga kamu nggak ngerasain jadi aku, Mi," lirihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUTTERFLY
Novela JuvenilLayaknya kupu-kupu, indah namun sulit untuk digapai. Kamu mungkin bunga, tapi kamu bukan bunga yang ia inginkan. !!Belum direvisi!!