Di sebuah kamar mandi seorang remaja laki-laki terlihat sedang mondar-mandir sendirian, ia tampaknya sedang menunggu seseorang yang kini belum kunjung datang.
Hingga pada akhirnya langkah kaki mulai terdengar menuju kamar mandi tersebut, yang membuat cowok itu segera menyambut kedatangannya.
Langkah kaki mulai mendekat, tidak sempat membuka pintu. Cowok yang tidak lain adalah Vano, ia segera memegang pergelangan tangan Halan. Menariknya ke dalam kamar mandi.
Vano segera mengalungkan tangannya di leher Halan. Sambil tersenyum menatapnya.
Sedangkan Halan hanya menampilkan ekspresi wajah datar, melihat tingkah laku Vano yang sedikit manja itu.
"Halan, cium dulu dong," ucap Vano yang terlihat memajukan bibirnya, berharap Halan menciumnya.
Tidak ada reaksi atau balasan apapun dari Halan, ia masih berekspresi sama seperti awal ya itu datar.
"Lan, kenapa lo gak nyemangatin gue di lapangan?"
Halan tidak menjawab pertanyaan Vano, ia terlihat diam saja, sambil menatapnya lekat-lekat.
Bosan melihat Halan yang begitu saja, lantas Vano melepaskan kedua tangannya. Ia merasa kesal saat tidak ada respon apapun darinya.
Bahkan wajahnya saja tidak berubah, tetap datar, diam dan cuek adalah sifat Halan. Bukan hanya ke Vano saja melainkan ke orang lain juga.
Namun Vano juga tidak bisa marah, karena ia sangat merindukannya. Lantas ia kembali ingin memeluk Halan. Namun sayang Halan segera menoyor kening Vano, sebelum ia berhasil masuk kedalam pelukannya.
Vano hanya bisa mengerucutkan bibirnya, ia sungguh kesal pada Halan yang terkadang sifatnya berubah-ubah.
"Cium gak boleh, peluk gak boleh. Terus apa yang boleh?" tanya Vano dengan kedua tangannya yang bersedekap dada, melihat Halan yang menyebalkan.
"Mau ngapain nyuruh gue datang ke sini?" bukannya menjawab, ia malah mengalihkan pertanyaannya dengan bertanya kembali pada Vano.
"Lah biasanya juga kayak gini, masa lo lupa sih. Lagian kita belum ketemu dari tadi pagi, apa salahnya gue nyuruh lo datang kemari."
"Sekarang udah ketemu, jadi gue harus kembali ke kelas."
"Ya tunggulah, gue aja belum cium lo. Main pergi-pergi aja."
"Udah mandi?"
"Lan, gak liat gue masih pakai baju olahraga. Ya jelas belumlah."
"Pantesan, masih tercium aroma para betina."
"Tajam banget penciuman lo, padahal mereka cuma meluk gue doang."
Mendengar ucapan Vano, ia mundur satu langkah untuk menjauhinya.
"Bersihin diri dulu sana, baru boleh cium gue."
"Ya elah kelamaan, udah sekarang aja."
Halan menolak saat Vano hendak menyosor bibirnya, ia menutupi bibir Vano dengan telapak tangan. Lalu mendorong mudur untuk menjauh dari wajahnya.
"Bandel banget sih lo."
"Ih, kecup doang. Masa gak boleh."
"Gak."
"Kecup doang, sini mana sini. Lihat gue Lan."
Vano begitu manja, ia terus berusaha mendapatkan bibir Halan. Yang terus menolaknya, lalu ia menangkup kedua pipi Halan agar wajahnya, menghadap lurus ke hadapannya.
"Gak bisa nolak, gak bisa nolak," ujar Vano yang mengejeknya.
Baru saja Vano mendekatkan wajahnya, suara langkah kaki dan suara yang tidak asing membuat Vano segera mendorong Halan ke salah satu bilik kamar mandi.
"Sialan ganggu aja," gumam Vano yang kini berada di pelukan Halan.
"Van."
"Huust ... lo diam, jangan ngomong."
Halan hanya bisa menghela napas melihat Vano, yang kini berada dalam pelukannya. Sambil mendengarkan suara orang yang berada di luar bilik kamar mandi.
"Gimana kabarnya si Zai?"
"Ya baik, cuma kakinya aja yang ke pelintir."
"Keseleo Dav, bukan ke pelintir."
"Sama aja, kakinya kalo digerakin sakit."
"Terus untuk pertandingan minggu depan, gimana. Sedangkan Zai masih sakit?"
"Ya lo, tanya Vano lah. Diakan yang berhak milih siapa yang harus gantiin Zai."
"Gak tau tuh anak kemana, baru selesai latihan udah menghilang."
"Paling juga menghindari fansnya yang bejibun, ya namanya juga populer."
"Kalo gue jadi Vano, tiap hari ganti cewek."
"Untung Tuhan gak jadiin lo kayak Vano, udah ketebak tujuannya jelek."
"Udah, jangan ngulur waktu. Cepetan sana masuk kamar mandi."
Ketiga orang itu satu persatu masuk ke bilik kamar mandi, namun tanpa diduga salah satunya yang tak lain adalah Davi. menuju kamar mandi yang di mana ada Vano dan Halan.
Ia mendorong pintu tersebut, membuat keduanya kaget.
Lantas Davi mengetok pintu tersebut, memastikan ada orang atau tidak di dalam kamar mandi tersebut.
Tok! Tok! Tok!
"Sorry, boleh gantian gak?"
"Gue masih lama! Lo pakai kamar mandi sebelah aja."
"Lah suara Vano," gumamnya pelan.
"Berapa lama lagi Van?"
"Pokoknya masih lama."
"Banget?"
"Iya!"
Davi tidak membalas ucapan Vano, ia lebih baik menunggu salah satu temannya yang sama-sama belum kelur.
Tidak lama dari itu salah satu temannya keluar dari dalam bilik kamar mandi, dan Davi segera masuk ke dalam.
Sedangkan Vano dan Halan harus tetap berada di dalam, menunggu ketiga teman Vano pergi dari sana.
Ekspresi wajah Halan begitu sangat datar, karena merasa bosan berada di dalam dengan waktu yang cukup lama.
"Van."
"Huust ... lo harus sabar," balas Vano yang mengelus dada bidang Halan, agar ia tetap tenang tidak bersuara.
Lagi-lagi Halan hanya bisa menghela napas, berharap ketiga teman Vano segera pergi dari sana.
"Van, Van. Udah belum Van? Mau kita tungguin apa gimana nih?" tanya Davi yang berada di luar.
"Gak usah, lo pada duluan aja nanti gue nyusul."
"Ok!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love For Halan [BL]
Roman pour AdolescentsJangan salah lapak! Halan si cowok pintar, yang diam-diam menjalin hubungan dengan Vano cowok populer, karena sifat mereka yang tergolong berbeda. Halan lebih suka tidak mengenali Vano saat berada di sekolah, supaya tidak menimbulkan kecurigaan. S...