"Hai, perkenalkan nama saya Sophie Alena. Alasan saya sekolah di sini, ya, karena dipaksa oleh ibu saya. Motivasi? Tidak ada."
Sebuah perkenalan yang sama sekali tidak kuingini. Merepotkan. Berdiri sendiri di depan kelas, ditonton secara langsung oleh orang-orang yang tidak kukenal.
Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah. Seperti pada umumnya, sebelum memasuki ajaran baru kami selaku murid-murid baru akan melakukan masa-masa orientasi. Di mana senior-senior bisa seenaknya menyuruh ini-itu, yang mungkin ketika aku dan murid-murid sekarang sudah kelas dua atau tiga akan membalaskan dendam kepada murid-murid baru nanti. Siklusnya terus begitu.
"Kalau boleh tahu, nama belakangnya siapa?" tanya salah seorang yang sedari pagi duduk di sampingku. Dia bernama Dea Nurul. Aku tahu, karena dia sudah memperkenalkan dirinya di depan. Dari awal disuruh masuk kelas kita hanya diam. Tapi ketika sekembalinya aku ke tempat duduk, dia mulai bertanya-tanya.
"Alena. Sophie Alena," jawabku sedikit ketus.
"Kalau itu aku dengar tadi. Tapi, itu, di baju seragammu, name tag-mu, ada huruf 'S'. Sophie Alena S. Apa 'S'-nya?"
"Tidak penting,"
Kalau ditanya apa yang menyebalkan di dalam hidup, aku akan menjawab 'aku sebal sama orang yang baru kenal atau bahkan belum kenal, tapi sudah banyak tanya'. Aku pikir, 'ngapan. Kenal mah kenal saja, jangan banyak tahu.' Memang rumit pikiranku.
"Baiklah," Dea menghela napas mendengar jawabanku.
Iya, aku sadar terkadang aku sering menyakiti perasaan orang dengan tingkah dan ucapanku yang begitu. Tapi, iya, tetap aku memilih untuk tidak peduli.
"Sudah saling tahu, nama-nama yang akan menjadi teman sekelas kalian, 'kan? Sekarang waktunya main gim," salah satu anggota OSIS berbicara di depan kelas yang kemudian di sambut dengan sorakan. "Dengerin dulu, gimnya adalah menyanyikan lagu anak-anak dengan teman sebangku kalian," tambahnya. Di dalam kelas sudah ada tiga anggota OSIS, yang sedang berbicara bernama Firman. Lagi dan lagi, aku tahu karena sebelum kami siswa baru memperkenalkan mereka-mereka memperkenalkan dirinya terlebih dahulu.
"Mau ngebawain lagu anak apa?" tanya Dea. Seisi ruangan pun, seketika rame. Masing-masing bangku sedang berdiskusi.
"Terserah," jawabku.
"Balonku aja, gimana?"
"Oke."
Gim dimulai dari bangku paling depan sebelah kiri, meski protes enggak mau menjadi yang pertama, namun mereka tetap maju setelah anggota OSIS cewek bilang, "Ayok. Lelaki itu harus menjadi contoh. Lelaki itu imam. Lelaki itu harus ada di barisan depan."
Mereka adalah Yuda dan Anggi. Jangan tanya kenapa aku bisa tahu, meski kadang terkesan bodoh amat, aku termasuk orang yang suka mengamati sekitar. Aku hafal semua nama-nama yang ada di kelas. Termasuk anggota OSIS atau kakak kelas.
"Boleh enggak nyanyi yang sama?" tanya Dea. Ketika Yuda dan Angga menyanyi balonku.
"Nanya ke siapa?"
Dea menghela napas. Aku rasa dia hampir hilang kesabarannya. Mau pindah bangku tapi semua sudah dapat pasangannya. Tidak ada pilihan lain, selain menghadapi orang sepertiku.
"Yang lain saja. Lagu yang enggak populer banget, tapi masih ada yang tahu," ucapku.
"Apa?"
"Belum tahu, coba cari di google."
Dea menurut.
"Ambilkan Bulan Bu, gimana?" tanya Dea lagi.
"Jangan yang berkaitan orang tua, deh,"
"Memang itu liriknya ada kaitannya dengan orang tua?"
"Enggak tahu, sih. Pokoknya jangan yang itu,"
"Kring-kring Bunyi Sepeda?"
"Coba lihat liriknya,"
Aku lebih mendekat ke arah Dea, melihat gadgetnya. Ketika membaca liriknya, aku langsung tahu nadanya. Lagu itu masih populer, tapi jarang ada yang menyanyikan. Kalah dengan popularitas Balonku, Topi Saya Bundar, dan lain-lain.
"Kalau ada yang nyanyiin, gimana? Ganti yang lain?"
"Lihat dulu," ucapku. Satu deret barisan depan sudah selesai. Kini mulai deretan bangkuku. Seperti barisan depan, deretan ke dua di mulai dari sebelah kiri. Setelah tiga pasangan maju, berarti giliranku akan berlangsung.
Meski masih malas berada di dalam kelas, tapi aku menikmati momen ini. Melihat teman-teman yang akan menjadi teman kelasku menyanyi sembari harus mengeluarkan ekspresinya. Semua kocak. Lucu. Aku lihat, Dea juga tertawa, meski ada rasa gugup di dalam dirinya.
"Padahal boleh pakai lagu yang sama," ucap Dea.
"Sedikit beda itu lebih bagus daripada sama," ucapku sembari menahan tawa. Sebelum giliranku, teman bangku yang persis di sampingku itu sedang ada di depan. Mereka tidak hanya menyanyi, berekspresi, melainkan mereka seperti sedang berada di panggung sendiri. Menguasai panggung. Mereka bernyanyi sambil berjoget. Benar-benar percaya diri.----
Bab berikutnya, giliran Sophie dan Dea yang akan bernyanyi. Apa sophie dan Dea akan merasa gugup atau sebaliknya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rubik
Teen FictionSebuah rubik membantuku untuk yakin, bahwa segala yang rumit bisa rapi jika mau diperbaiki.