Tidak ada yang memungkiri bahwa Denok dan Danik adalah sepasang daya tarik utama keluargaku. Kemana pun kami pergi, dengan bangga aku dan suamiku akan memperkenalkan mereka berdua, putri kembarku. Lalu biasanya dimulailah suatu sesi ritual percakapan yang kian lama kian menjadi hal yang jamak bagi kedua gadis remajaku itu.
“Lho, Denok yang mana? Yang tahi lalatnya ada dibawah bibir sebelah kiri, ya? Kalau Danik yang mana? Yang tahi lalatnya diatas bibir dibagian tengah?”
“Waduh sampai potongan rambut poninya saja sama persis!”
“Bagaimana cara membedakannya, Jeng?Ohh, …harus benar-benar mengamati wajahnya sedemikan rupa? Memperhatikan tahi lalatnya? Wah, ada-ada saja! Repot juga mempunyai anak kembar ya, Jeng?”
Biasanya kedua gadisku akan tersipu malu mendengar celoteh berbagai relasi ataupun kerabat yang kebetulan bertandang ke rumah kami. Sedangkan aku hanya tersenyum simpul.
“Kalau anak sendiri tentu saja dengan mudah saya dapat membedakan, Jeng. Bahkan jika seandainya saya hanya melihat punggung mereka, saya langsung dapat menyimpulkan, apakah itu Denok ataukah Danik yang sedang lewat melintas,…!”
Kedua gadis itu kerap membalas rasa percaya diriku sebagai seorang ibu dengan gaya mencemooh. Menurut mereka aku terlalu yakin pada intuisiku sendiri.
“Ibu itu ada-ada saja, deh! Nanti lama-lama Ibu akan sesumbar, bahwa ibu sanggup membedakan kami berdua hanya dengan melihat jempol tangannya saja? Ibu jangan lebay, akh!”
Ucap Danik si lembut yang selalu sabar dan tak pernah emosional.
Kemana pun kami pergi, kedua gadis itu selalu menjadi pusat perhatian semua orang, karena aku terbiasa mendandani mereka dengan gaya yang sama. Ikat rambut yang sama, gaun yang sama bahkan pakaian dalam mereka pun sama! Kedua gadis itu juga menikmati saja bahwa segala sesuatu tentang diri mereka akan selalu sama dan serupa adanya, karena mereka adalah anak kembar.
Keadaan mulai berubah sejak mereka berusia dua belas tahun. Denok mulai gemarmengoleksi celana – celana jeans. Sifat tomboynya makin kelihatan jelassejak Denok bersahabatdengan putra kakakku,Bimo. Denok jadi gemar bersepeda keliling kompleks, memanjat pohon dan memancing di empang.
Sementara Danik tetap saja pada kebiasaan masa kecilnya. Mengenakan gaun cantik, pita warna-warni dan aneka jepit rambut yang lucu. Ia juga tak pernah absen berlatih piano.
Aku membiarkan saja kedua putriku berkembang sesuai dengan naluri mereka, bagiku hal ini justru menunjukkan hikmat Tuhan yang luar biasa. Bahkan manusia kembar pun pada akhirnya akan memiliki perbedaan, apalagi manusia biasa.
Bagiku sungguh mengherankan jika ada orang yang berharap agar orang lain memiliki pandangan dan pemikiran yang sama persis dengan dirinya. Mana mungkin? Sedangkan manusia kembar saja memiliki banyak perbedaan!
***
Akhir-akhir ini terjadi perubahan yang sangat menyolok pada diri Danik. Putri sulungku itu mulai jatuh cinta! Ia sering menerima telepon dan tersenyum sendiri di depan layar komputer.