Satu

1.1K 155 77
                                    

Dalam kehidupan manusia, pasti ada satu orang terdekat yang akan menjadi beban. Itu adalah sesuatu yang entah kenapa harus dihadapi-dan sebagian besar ditahan meski terasa begitu menyebalkan.

Beban yang kumaksud di sini bukanlah seseorang yang sakit, berkebutuhan khusus, membutuhkan bantuan, mengandalkan kita karena mereka memang benar-benar tak bisa dibiarkan melakukan semuanya sendiri. Beban yang kumaksud adalah pembawa masalah, pembuat masalah, mendorong emosi kita sampai ke batas dimana kita merasa tak mampu lagi menahannya.

Dalam hidupku, beban itu adalah ayah kandungku.

Aku sangat ingin tahu apa yang ibuku pikirkan ketika memutuskan untuk menikah dengan pria seperti itu. Seorang pria dengan pikiran yang begitu sederhana. Saking sederhananya hingga tak bisa diajak berbicara tentang semua masalah yang harus mereka hadapi setelah mereka menikah.

Ayahku juga bukan orang yang bertanggung jawab; mudah merasa cukup dengan apa yang telah dicapai tanpa berpikir kalau dunia akan semakin berat, tak mau mendengar nasihat dan perkataan orang lain tanpa merasa marah, bercanda secara berlebihan hingga memicu pertengkaran, Lalu bertindak seperti tak ada yang terjadi padahal lawan bertengkarnya masih merasa sakit hati.

Ada satu waktu yang membuat sikap tak bertanggung jawabnya terlihat sangat jelas. Ia sedang bermain judi dan tak langsung pulang setelah mendengar ibuku akan melahirkan anak pertama mereka dulu. Begitulah yang diceritakan nenekku, ibuku, dan orang-orang yang sudah mengenalnya cukup lama.

Anak itu adalah aku. Ia pria yang tak tahu harus melakukan apa ketika tanggung jawab untuk pengurusan setelah melahirkanku dibebankan padanya. Seolah ia memang tak pernah berpikir sejauh itu sebelum ia menikah. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan, biaya sebesar apa yang dibutuhkan padahal ibuku sudah sering menyinggungnya, dan tanggung jawab lebih besar yang harus ia tanggung untuk membesarkan anak nantinya.

Lalu kenapa ia membuat anak?

Kupikir lebih baik bagi mereka memutuskan untuk tak memiliki anak selamanya daripada membuat anak itu mengalami serangan mental bahkan ketika anak itu belum memahami apa maksud dari serangan mental itu sendiri.

Tapi di sinilah aku. Aku lahir dan dibesarkan sementara mereka terus memiliki masalah ekonomi karena ayahku yang katanya rajin bekerja itu tak pernah menghasilkan apapun yang berarti di dalam hidupnya.

Ia dikenal sebagai orang ramah, memiliki banyak teman dari yang muda sampai yang tua, menjadi pusat perhatian setiap kali ada perkumpulan karena memiliki selera humor yang baik-sekaligus buruk, dan wajah yang rupawan. Satu-satunya hal baik yang ia turunkan padaku sejujurnya adalah wajah yang rupawan itu.

Ia kekanakkan. Aku tak tahu harus menjelaskan bagaimana sikapnya dengan cara yang lebih baik. Ia hanya kekanakkan dan tak memiliki rasa tanggung jawab. Ia hanya memikirkan dirinya sendiri, menghabiskan seumur hidupnya dengan bermain-main seolah ia akan muda selamanya.

Itu bukan bagian terburuknya.

Saat itu hari Minggu. Aku sedang libur kuliah namun harus tetap keluar rumah karena pekerjaan paruh waktuku. Adik perempuanku yang baru menginjak kelas sembilan sedang pergi ke rumah nenek kami dan akan menghabiskan akhir pekan di sana hari ini.

Aku pulang bekerja pada pukul tiga sore, dan terkejut saat seorang ibu tetangga yang rumahnya berjarak beberapa blok dari rumah kami, melempar kaca depan rumahku sembari berteriak dan mengumpat yang mengundang perhatian semua tetangga.

Ia menunjuk-nunjukku begitu melihatku, mengatakan kalau aku adalah anak seorang kriminal, anak seorang penjahat kelamin yang melecehkan anak di bawah umur. Ia mengumpatiku dengan kata-kata kasar yang biasanya hanya bisa didengar di pelabuhan. Ia menyalahkanku, menyalahkan ibuku, menyalahkan semua keluarga kami padahal seharusnya satu-satunya yang harus disalahkan dalam hal itu adalah ayahku.

Kenapa aku harus selalu menanggung beban, disalahkan atas semua hal yang dilakukan seseorang hanya karena orang itu adalah ayahku? Bukan satu dua kali aku harus menghadapi polisi karena pertengkaran yang dimulai oleh ayahku. Belum lagi beban hutang karena ia meminjam uang dari rentenir setelah kalah berjudi.

Kenapa aku harus mengalami semua hal buruk ini padahal aku menjalani hidupku dengan cara yang baik selama ini?

Bahkan setelah yang ia lakukan, ia memutuskan untuk melarikan diri. Ia membuat kami harus menghadapi umpatan, cemoohan itu sendiri, lalu dengan berat hati meminta bantuan salah satu paman ibuku yang bekerja di kepolisian untuk menutupi kasus itu.

Anak itu disentuh di bagian paling pribadi di tubuhnya, namun tak sampai diperkosa. Bukan berarti itu bisa mengurangi kesalahan yang diperbuat oleh ayahku. Tapi tetap saja, hukuman sosial itu harus keluargaku hadapi sementara ayahku bersembunyi entah dimana selama lebih dari enam bulan.

Kemudian saat kami memutuskan untuk pindah ke kota yang berbeda, aku baru mengetahui kalau ayahku mendapat warisan dan telah membangun rumah di tempat yang jauh. Ia menyambut kedatangan kami dengan senyuman yang lebar, dan ibuku menerimanya kembali begitu saja.

Lalu bagaimana dengan kehidupan kampusku yang sudah ia rusak? Bagaimana dengan semua kerja kerasku untuk menjadi seorang pelajar dan mahasiswa teladan? Bagaimana dengan teman-temanku yang bersikap canggung padaku setelah itu, menjaga jarak hingga aku memutuskan untuk menjauhi mereka agar mereka tak merasa bersalah telah melakukannya lebih dulu padaku?

Aku membenci ayahku yang menghancurkan hidupku, menginjak-injak harga diri dan image yang sudah kubangun dengan susah payah, merusak mentalku hingga aku hampir mati rasa. Aku benci ibuku yang masih menerima lagi pria seperti itu, mengatakan kalau apa yang sudah terjadi hanyalah salah paham belaka. Aku juga membenci adik perempuanku yang memutuskan untuk tak memikirkan hal itu seperti orang yang tak bertanggung jawab lainnya.

Hanya akulah yang dihancurkan karena perbuatan pria itu. Hanya aku yang kehilangan tujuan awalku dan memilih hidup seperti aku akan mati esok hari.

Juga hanya aku yang tersenyum lebar ketika mayat ayahku ditemukan di sebuah selokan pembuangan di pinggiran kota yang jarang dilewati orang.

Ia pantas mendapatkannya setelah apa yang ia lakukan seumur hidupnya. Bahkan selokan itu masih terlalu bersih untuk menampung tubuhnya yang menjijikan.

Aku mengeluarkan air mata saat pemakamannya. Tapi bukan karena aku sedih, melainkan karena aku setengah mati menahan tawa yang beberapa kali nyaris menyembur keluar dari mulutku. Aku menari di dalam kamarku saat malam harinya, memungut kepingan semangat untuk menjalani hidup yang sempat pria itu hancurkan dulu.

Aku merasa bebas. Kemarahan dengan segera menguap hingga membuat dadaku terasa begitu ringan.

Sekarang waktunya bagiku untuk mengejar cita-citaku kembali setelah beban itu mati.

Oooo

Another dark story by me.
Tiba-tiba aja ide ini terlintas setelah dengar lagu anak-anak.

Jangan tanya judul lagunya apa karena aku ga mau ngerusak masa kanak-kanak kalian hehe.

Kira-kira, bagus ga buat dilanjut?

Anw, coba tebak akunya siapa. Sasuke? Or Sakura? Atau orang lain lagi?

The Darkest Side of Light (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang