Pertemuan yang tak terduga

3 0 0
                                    

"Sorry, aku harus pulang. Lain kali kamu mau kan aku ajak bertemu lagi?" Emma hanya mengangguk mendengar lelaki yang kini di hadapannya sedang berkemas. Tak butuh waktu lama, lelaki itu bergegas pulang meninggalkan Emma yang kini terduduk sendirian.

Emma menatap secangkir kopi hitam yang baru sedikit terjamah. Bukan hal yang baru untuknya melihat kopi itu tak sampai pada batas wadahnya. Namun, mau bagaimana lagi. Hidup lelaki itu memang bukan selalu tentang menemaninya.

Sinar matahari sore menyinari jendela-jendela kafe dengan lembut. Aroma kopi yang menggoda mengisi udara, menciptakan suasana yang nyaman dan hangat di dalam ruangan. Di sudut kafe yang tenang, Emma terduduk sendirian dengan buku catatannya yang baru saja dikeluarkan, memperhatikan setiap gerakan orang-orang di sekitarnya.

Emma, seorang gadis berumur dua puluh tiga tahun itu memiliki kehidupan yang serba sibuk. Bekerja sebagai seorang penulis terkenal sering kali membuatnya kehilangan momen-momen kecil dalam hidup. Karena menulis bukan hanya duduk lalu mengetikan untaian kata yang lahir dalam pikiran. Namun, menulis novel adalah tentang bagaimana menjelajahi imajinasi, menghidupkan karakter yang kuat, serta mampu menyampaikan pesan yang mendalam.

Dan sore ini, ia berusaha mencoba mengesampingkan rutinitas monotonnya dengan menikmati waktu bersama Adam. Namun sayang, lelaki itu malah meninggalkannya sendiri di ruang ramai.

Sembari menikmati kesendirian, rasanya tak puas jika ia tak merenungkan ide baru untuk novelnya. Manik hitamnya terus bergulir menangkap setiap hal yang ada dalam kafe. Namun, seketika pandangannya tertuju pada seorang lelaki asing yang duduk di meja seberang. Lelaki itu terlihat begitu misterius dengan wajahnya yang tampan dan mata elang yang tegas. Dia memiliki ciri-ciri yang mencolok, terlihat seperti seorang lelaki estetik yang menjaga penampilannya dengan detail yang cermat. Pakaian yang dipilihnya tampak seperti karya seni yang hidup, dan matanya penuh dengan kepekaan yang tajam.

Emma tidak bisa menahan rasa ingin tahu, dan entah bagaimana, pandangannya terus tertuju pada lelaki tersebut. Ia begitu tertarik dengan pemandangan yang baru ia temui. Namun, lelaki itu merasakan bahwa matanya diperhatikan. Ia mengangkat kepalanya dan tersenyum ramah. Emma terkejut, tapi ia tetap mampu melayangkan balik senyumnya dengan canggung. Ia terjebak dalam momen singkat yang penuh dengan ketegangan dan kepolosan.

Merasa malu karena tertangkap lelaki asing, perempuan itu mengalihkan pandangannya dengan cepat. Jemarinya segera meraih gelas yang berisi setengah cokelat hangat lalu meneguknya dengan pelan. Tanpa disadari, lelaki asing itu mengambil langkah maju dan menghampiri meja Emma.

"Maaf jika mengganggu, tetapi aku gak bisa gak memperhatikan pandangan kamu yang penuh ketertarikan," ucapnya dengan sedikit senyuman. Suaranya terdengar seperti melodi yang menenangkan.

Emma terkejut dengan keberanian lelaki tersebut. Ia terdiam sejenak, entah kata apa yang harus ia lontarkan sebagai jawaban yang tepat. Terpaku pada pemandangan indah bukankah hal yang lazim terjadi?

"Sebenarnya, aku seorang penulis. Sering mencari inspirasi di tempat-tempat seperti ini, dan pandangan kamu menarik perhatian," ucapnya dengan sedikit terbata. Wajahnya terlihat sedikit memerah. Kali ini ia tak hanya ditimpa rasa kesal karena ditinggalkan namun ia juga harus menampung malu.

"Aku harap kamu gak keberatan jika aku duduk disisni?" Lelaki itu tersenyum sambil menunjuk ke kursi kosong di hadapan Emma. Emma mengangkat kepalanya dan menganggukan kepalanya pelan. "Silahkan," ucapnya dengan suara yang hangat.

Lelaki itu duduk perlahan dengan sebuah kanvas kecil yang ia letakan di samping gelas kopinya. Cahaya senja semakin kuat menyapu ruangan dengan sentuhan emas. Emma kembali mengedarkan pandangannya. Ia menyadari bahwa kafe ini memiliki suasana yang tenang dan hangat sehingga mampu mengundang orang-orang untuk melarikan diri sejenak dari keriuhan.

Lagi dan lagi, matanya kembali terpaku pada sebuah keindahan yang dimiliki oleh lelaki asing dihadapannya. Netranya menangkap seorang lelaki dengan wajah serius yang dipenuhi ekspresi dan jemarinya tak berhenti menari dengan lembut di atas kanvas yang tidak lagi putih dalam genggamannya. Dalam pertemuan pertama yang tak tertuga, perempuan berambut sebahu itu merasa tertarik oleh aura kreatif yang melingkupi lelaki asing diadapannya, seolah ia membawa kehidupan dan warna ke dalam dunia yang abu-abu.

"Mengagumkan," gumam Emma sambil menunjuk ke arah kanvas. "Kamu punya cara yang unik untuk mengekspresikan keindahan dan emosi," ucap Emma. Tanpa ragu, ia melayangkan kalimat itu. Seolah mendapatkan dorongan yang kuat untuk mengenalnya lebih dalam, memahami apa yang tersembunyi di balik garis dan warna-warna yang ia ciptakan di atas kanvas.

Lelaki itu terkekeh mendengarnya, "terima kasih. Kita adalah dua jiwa yang terhubung melalui ketenangan dan keindahan seni," ucapnya. Lelaki itu menghela nafasnya lembut, ia menatap lurus Emma. "Aku selalu berusaha mencoba menangkap esensi kehidupan dan memperlihatkannya melalui lukisan."

Rasanya menarik berbagi tanya dan cerita dengan lelaki asing itu. Emma bercerita tentang cinta dan ketertarikannya pada dunia sastra sejak SMA, tentang bagaimana serangkaian kata dan tanda baca dapat menyentuh jiwa dan mengubah persepsi tentang suasana. Menurut Emma, menulis bukan hanya menuangkan buah pikiran pada sebuah kertas. Melainkan usaha mengembangkan kata yang menjadi kalimat indah yang bermakna untuk dibaca.

"Aku menemukan keindahan dalam menjelajahi alam batin manusia lewat tulisan."

"Jadi, kamu bisa masuk ke alam batinku juga?"

Emma menggeleng dengan cepat dengan sedikit terkekeh renyah, "Dukun yang bisa," jawabnya.

Tak terasa, jarum jam sudah menunjukkan angka setengah tujuh. Senja yang perlahan merayap di langit, memberikan warna-warni yang memukau namun terhapus karena malam telah beringsut naik. Tak ada lagi cahaya emas senja yang menyapu langit dan menciptakan gambaran yang magis di sepanjang cakrawala.

Satu per satu, kedipan lampu-lampu kota mulai terlihat, melahirkan sorotan lembut di antara kegelapan. Saat itu juga, kehidupan malam mulai memasuki panggungnya sendiri, menampilkan cerita yang hanya terungkap ketika matahari terbenam. Begitu juga dengan dua insan yang masih setia terduduk di meja ujung sejak senja membelai mesra permen kapas yang mengapung di angkasa.

"Buatmu," ucap lelaki itu tib-tiba sembari menyuguhkan sebuah kanvas dengan lukisan kafe yang dibalut senja. Emma yang melihat itu, hanya berdecak kagum pada sebuah hasil kelihaian dari jemari lelaki asing di hadapannya.

"Kok bisa sih?" ucapnya dengan binar mata yang menyuguhkan kekaguman. "Ini sih udah pantes di pamerkan," ucapnya lagi. Lelaki itu hanya tersenyum mendengar setiap apresiasi baik dari perempuan si penikmat cokelat hangat di hadapannya.

"Kamu mau ke ruang angkasa?" Tanya lelaki itu dengan Suara baritonnya yang mempesona dalam telinga. Emma mengalihkan pandangannya pada sebuah mata cokelat kopi yang menenangkan. "Tentu," jawabnya.

Lelaki itu tak menjawab, ia hanya melintaskan dengan anggun sebuah senyum yang lembut di bibirnya. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 02, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Art of SerendipityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang