01. The Rainy Night

20 3 0
                                    

Jika aku bisa memutar kembali waktu, apakah kamu akan tetap tinggal?
Jika aku bisa memutar kembali waktu, apakah kamu akan memaafkan semuanya?
Jika aku bisa memutar kembali waktu, apakah kamu akan tetap di sisiku?

Nyatanya semesta terus berjalan maju, bukan mundur..
Tapi hariku seakan berhenti di waktu itu.
Waktu dimana, satu-persatu yang berharga ku punya menghilang.
Menghilang karena dipaksa pergi, dan menghilang karena keinginannya sendiri untuk pergi.

🕛🕛🕛

Catatan 1 : Agustus, 2015

"Kamu gagal masuk kedokteran, Anandeeya? Memalukan!"
Maki sang Ayah, dengan melempar telepon genggamnya yang menunjukkan pengumuman kelulusan perguruan tinggi milik anaknya, ke sembarang arah.

"Maaf, yah.." lirih gadis yang bernama Anandeeya itu.

"Jangan hanya minta maaf. Tunjukkan usaha kamu masuk kedokteran! Mau di taruh dimana muka saya nanti? Kamu ini bagaimana? Sudah saya masukkan ke tempat les terbaik di kota ini, tapi mana buktinya? Apa jangan-jangan kamu hanya keluyuran?"

"Deeya gak pernah keluyuran, Yah.. Maafin deeya." Anandeeya semakin menundukkan wajahnya bersama dengan airmata yang mengalir dari matanya.

"Kamu itu kakak! Setidaknya kamu bisa menjadi contoh buat adiknya. Jangan hanya menangis dan minta maaf, berhenti menangis atau saya akan hajar kamu."

"Mas!" pekik wanita dari ujung pintu, dengan nafas tak beraturan.

"Pahlawan kamu sudah datang. Beruntung sekali." sarkas sang Ayah.

Sang wanita bergegas mendekati daksa sang anak perempuannya. Gadis yang tengah menahan tubuhnya agar tak jatuh, dipeluknya erat.

"Bun.. Maaf.." ucap Anandeeya dengan terbata.

"Gak apa-apa, kak. Bunda tetap bangga sama kamu, gak mesti masuk kedokteran. Cari jalan kamu sendiri, jangan dengerin apa kata Ayah. Bunda dukung kamu 100%." Ucap tenang sang Ibu.

"Pergi ke kamar, nak.. Kunci pintunya, jangan keluar kalau bukan Bunda yang panggil. Paham?" titah sang Ibu kemudian.

Sang Ibu melepas pelukannya dan Anandeeya beranjak dari tempatnya.

"Lagi-lagi kamu memanjakan anak kamu itu. Sekali-kali kamu tegas sama anak, jangan menye-menye kayak tadi."

"Lalu kamu begini bisa di bilang tegas? Gila kamu, mas. Kamu itu bukan tegas, tapi memaksakan segala sesuatu, apa yang kamu inginkan kamu bebankan pada anak kamu sendiri."

"Jangan panggil dia anak saya. Anak saya hanya Ditho. Anak macam apa yang tidak pernah mau dengar ucapan Ayahnya."

"Mas! Kalau kamu terus begini, lama-lama aku capek-" Sebelum menyelesaikan ucapannya, sang suami lebih dahulu memotongnya.

"STOP, TARISHA! jangan pernah kamu lanjutkan ucapan kamu itu, atau saya benar-benar akan murka pada Anandeeya. Dia, selalu saja kalah dengan teman kecilnya itu, dia selalu kalah melawan anak dari keluarga Omkara itu. Saya tidak suka keluarga saya ada dibawah orang lain, kamu paham itu?"

"Enggak. Aku gak pernah paham. Daridulu aku gak pernah mau paham sama jalan pikiran kamu ini. STOP buat anak-anak saya menderita, Yashekar. Mau sampai kapan kamu begini?"
Sang istri sudah lelah dengan jalan pikiran suaminya. Mengorbankan anak mereka hanya karena gengsi.

"Sampai orang lain tidak akan lagi meremehkan saya, Tarisha. Keluar kamu, saya tidak mau ribut denganmu. Kerjaan saya banyak, rumah sakit butuh saya daripada kalian. Urus sana anak perempuan kamu itu." Ucap sang suami dengan nafas yang memburu

"Kamu memang keterlaluan, Yas. Dia anak kamu juga!"

"Bukan! Stop, okay! Pergi, Sha.. Saya tidak mau ribut lagi, nanti Dhito akan dengar."

Tarisha Orlin alias sang Ibu dari dua anak, Anandeeya Danadyaksa (18th) dan Ananditho Danadyaksa (17th) ini bergegas menuju kamar sang anak sulung. Meninggalkan Yashekar Danadyaksa sang suami sekaligus ayah dari anak-anaknya itu, berkutat dengan kegilaan akan dunianya sendiri.

Selamat datang dikeluarga yang terlihat harmonis di luar, namun disharmonis di dalam. Kebahagiaan anak dan istri di korbankan demi egonya yang setinggi langit.

🕐🕐🕐

"Bangun Anandeeya!" Perintah Yashekar, sang Ayah.

"Ada apa yah?" Tanya Anandeeya, yang masih setengah sadar.

"Besok pagi kamu bawa barang-barang yang sudah saya kemas itu. Mulai pagi nanti, kamu tinggal sendiri. Jangan pamit pada bunda atau adikmu. Cukup pergi diam-diam di pagi hari, sebelum mereka bangun. Semua akses kamu saya stop." Jelas Yashekar.

Anandeeya yang mendengar perkataan sang ayah, langsung membukakan matanya dengan sempurna. Mencerna kemabali setiap kalimat yang di ucapkan sang ayah. Apakah ini mimpi, pikirnya begitu. Namun, setelah mendengar suara koper yang di seret ia sangat sadar, bahwasanya sang ayah benar-benar menginginka ia pergi.

Setelah Yashekar merapikan koper yang isinya barang-barang Anandeeya, ia bergegas meninggalkan sang anak yang masih bingung di buatnya. Hingga saat Yashekar akan membuka pintu, niatnya cepat keluar dari kamar Anandeeya terhenti.

"Harus ya, yah? Se-malu itukah ayah sama Deeya, cuma gara-gara gak keterima di kedokteran? Karena Deeya gak bisa ikut terjun di dunia ayah dan ngebanggain ayah? Karena Deeya gak bisa jadi alat buat ngembangin rumah sakit Oma? Deeya yakin, kalau nanti deeya jadi dokter pun, ayah gak akan pernah bangga. Ayah cuma bangga sama rumah sakit yang jadi besar nantinya, tapi tidak dengan proses korban dari ego dan keserakahan ayah. Deeya, gak minta buat dilahirin kok. Harusnya dulu, ayah paksa bunda gugurin kandungan, kalau ayah yakin Deeya ini bukan anak kandung ayah. Tapi, deeya berterima kasih sama ayah. Ternyata di dunia ini, sakit hati pertama seorang wanita itu bukan dari pacar pertamanya. Tapi lelaki pertama yang ia lihat di dunia. Ayahnya sendiri."

"Berterima kasih juga, karena kamu sudah hidup enak selama ini berkat saya. Selama ini saya sembunyikan kehamilan ibumu dan kamu, karena saya yakin kamu bukan anak kandung saya. Tapi, karena saya kasihan dan cinta dengan Tarisha, makanya saya pertahankan kamu. Oh iya, kamu bisa ambil laptop dan handphone yang saya berikan. Biar kamu gak ngerepotin istri saya lagi." Jawab sang Ayah yang masih membelakangi sang anak dan bergegas keluar.

Anandeeya, menahan sekuat mungkin untuk tidak menangis kembali. Tenaganya harus ia sisakan untuk segera pergi dari rumah terkutuk ini, pikirnya begitu. Anandeeya bangun dan segera membersihkan dirinya, setelahnya ia menghunungi seseorang untuk meminta bantuan. Jam menunjukkan pukul dua pagi, mau tak mau ia harus mencari pertolongan. Setidaknya ia aman untuk pagi buta ini, bukan?


Dear, NameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang