BAB 01

547 119 0
                                    

Dua belas Oktober 1965, di Desa Singkal, Jawa Tengah. Desa yang, entah dengan mukjizat apa, masih ada di peta meski sudah mati lebih lama daripada harapan di wajah penduduknya. Di sini, kemiskinan bukan sekadar angka di laporan statistik, tapi sudah jadi doktrin hidup yang diwariskan turun-temurun. Kalau kau tidak miskin, kau belum benar-benar hidup. Rukmini duduk di serambi rumah, kalau gubuk reot yang dibangun dari bilah bambu bolong dan atap rumbia yang hampir rubuh itu masih layak disebut rumah. Mungkin lebih akurat menyebutnya kandang tikus, karena tikus pun tahu bagaimana bertahan hidup di tempat seperti ini.

Di desa ini, kehancuran adalah norma. Pemerintah, Tuhan, dan siapa pun yang berpura-pura peduli telah merawat kehancuran ini seperti seni. Mereka datang, memberikan janji-janji kosong, menyuruh kami bersabar, sembari tertawa di balik meja mereka yang bersih dari debu kemelaratan. Desa ini seperti lelucon panjang yang tak pernah lucu, di mana orang-orang terus berperan sebagai korban.

Ladang di depan rumah Rukmini sudah kering. Bukan karena kurang air, tapi karena desa ini sudah sejak lama kering dari harapan. "Ah, setidaknya kami punya tanah," kata para tetua desa, seolah tanah ini bisa mengisi perut. Mereka sering bercanda, "Di Singkal, yang subur cuma kemiskinan dan kebodohan." Dan mereka tertawa, tawa pahit yang lebih mirip bunyi tikus terjepit di perangkap.

Dari dalam rumah, terdengar suara batuk Gunawan, suami Rukmini, yang sudah lama terkapar seperti mayat hidup. Suara batuk itu seperti pengingat konstan bahwa di desa ini, bahkan kematian pun malas datang menjemput. Setiap kali Gunawan batuk, Rukmini lebih ingin memukulnya daripada merasa kasihan. Bukannya apa, batuk itu sudah jadi irama latar belakang kehidupannya selama bertahun-tahun, lebih lama dari cinta yang dulu pernah mereka rasakan. "Kau batuk lagi, Gun? Kau batuk atau pura-pura hidup?" pikir Rukmini, muak.

Orang-orang desa suka bicara tentang kesetiaan. Mereka memuji Rukmini sebagai "istri yang berbakti," padahal di balik dinding bambu rumahnya, tak ada yang tersisa dari bakti itu selain kepasrahan. Apa sih kesetiaan itu? Sekadar omong kosong untuk memastikan perempuan di desa ini tetap terjebak dalam siklus takdir sialan yang tak ada habisnya. Istri yang setia di sini hanya berarti istri yang belum sempat menjual tubuhnya karena suami belum mati.

Di desa ini, kesetiaan dan kehormatan adalah mata uang yang tak laku. Tapi, coba katakan itu di depan orang-orang desa. Mereka akan menudingmu lebih cepat dari kilat. Mereka akan bilang, "Oh, si Rukmini perempuan baik. Lihat, meskipun suaminya sakit-sakitan, dia tetap setia." Setia pada apa? Pada kemiskinan? Pada takdir busuk yang mereka terima dengan senyuman getir? Rukmini tertawa dalam hati, lebih pahit dari empedu.

Desa Singkal ini lucu. Lucu dalam artian tragis. Moralitas adalah komoditas yang diperdagangkan seperti sayuran busuk di pasar. Kau diharapkan menjaga "kehormatan", seolah-olah kehormatan bisa dimakan. Para lelaki kota datang dengan mobil mewah dan dompet tebal, mencari tubuh-tubuh perempuan desa yang sudah kehabisan pilihan. Dan orang-orang desa akan menutup mata, tapi tak pernah menutup mulut. Mereka akan bergosip dengan berbisik, seolah takut dosa perempuan itu menular, padahal mereka sendiri hidup dari dosa yang lebih bes

Rukmini menghela napas panjang. Ia sudah terlalu lelah untuk marah. Ia tahu, cepat atau lambat, dia akan terjebak juga. Bukan karena dia mau, tapi karena pilihan hidup di desa ini semakin tipis, seperti lembaran-lembaran uang di dompetnya. "Apa gunanya menjaga kehormatan kalau perutmu kosong?" pikir Rukmini, menatap ladang kering di depan rumah. Lelaki kota yang datang menawarkan uang mungkin adalah satu-satunya harapan yang tersisa. "Ini semua omong kosong," pikirnya lagi. "Mereka bicara tentang Tuhan, tentang dosa, tapi siapa yang akan menanggung dosaku kalau suamiku mati dan aku tak punya apa-apa?"

Di Desa Singkal, Tuhan entah kemana. Mungkin sedang sibuk menghitung uang di kota bersama para pejabat. Atau mungkin Tuhan ikut nongkrong di warung kopi mewah, seraya tertawa melihat mereka yang berjuang untuk hidup di bawah sana. "Tuhan itu ada, kalau kau punya uang untuk membayarnya," gumam Rukmini, pahit.

CERITA BAHAGIA TENTANG ORANG MISKINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang