#21 Rere & Enok.

283 36 9
                                    

***

Beneran Wira bisa bawa mobil. Selama ini Hadin nggak pernah mau kasih kesempatan itu karena takut bakalan nabrak orang. Tapi sekarang kepikiran kesana aja nggak. Hadin udah keburu teler di bangku penumpang. Dika? Dia udah jalan duluan sama motornya.

Sampai depan rumah, Dika buru-buru matiin mesin motor. Ngebuka pagar pelan-pelan soalnya mereka perginya diem-diem. Didorongnya motor sampai ke garasi. Mau sembunyi gimana juga pasti Ibun nyadar anaknya baru pulang. Tapi setidaknya Ibun nggak tahu kalau si kembar ini nyusul abangnya. Kalo ketahuan ntar alasannya masa abang lemes bun. Yah lemes karena apa juga mereka nggak tahu. Abangnya itu diem aja daritadi.

"Katanya kenapa?"

Dika mengajukan tanya usai langkah abangnya itu meninggalkan mereka, masuk ke dalam rumah.

Beneran udah kayak nggak keurus. Coba deh bayangin siapa yang make seragam sekolah di jam 12 malam. Abang mereka doang keknya. Mana kancingnya udah kebuka semua nampilin kaos itamnya yang Wira sama Dika hapal betul saking jeleknya udah pengen dimusnahin sama Ibun. Tas sekolahnya dipegangnya kayak kresek item. Kacau bangetlah pokoknya.

"Anjinglah. Nggak mau ngasih tahu."

"Beneran putus sama Kak Grit?"

Wira masih mandangi abangnya itu. "Udah pasti iya. Dia berantakan begitu alasannya cuma dua. Kalo nggak kalah turnamen pasti diputusin. Sekarang kan lagi nggak ada turnamen."

Dika nggak tahu apa kalo Wira sebegitu merhatiin abangnya.

***

"Mamas sama Kakak darimana?"

Langkah Wira dan Dika terhenti saat mendapati kehadiran Ibun di sana. Wanita paruh baya itu sampai membenarkan kacamatanya untuk memastikan kalau yang dia lihat anak kembarnya.

Wira cepat menyambar. "Bukain pagar buat abang, Bun."

"Tumben Kakak mau bukain pintu,"

"Mamas takut habis nonton film hantu."

Satu rumah juga tahu kalau Wira suka nyuruh adiknya ketimbang dia yang gerak. Tapi nggak salah juga kalau Dika suka takut turun ke bawah apalagi habis nonton horor. Yaudah intinya Dika ikhlas dijadiin tameng buat malam ini. Lagian dia juga nggak pinter ngeles kayak Wira.

"Abang ikut Ibun bentar yuk. Ibun mau ngobrol." Wanita itu mengelus lengan anak sulungnya. Senyumnya masih bisa manis selarut ini. Tapi Hadin paham kalau dia bakal ditanya-tanya. "Mamas sama Kakak tidur ya, udah jam berapa ini. Jangan dribble bola sama main game lagi."

Haduh, Wira dan Dika aslinya nggak peduli kalo Ibun mau marahin mereka karena dribble bola sama main game sekarang. Mereka kepikiran abangnya.

***

Ibun itu cantik. Tiap temen Hadin atau adik-adiknya kerumah nggak ada yang percaya kalau Ibun itu kelahiran 70an karena saking awet muda. Langsing banget dan selalu dimintain tips diet padahal Ibun mati-matian buat gemukin badan. Rambutnya panjang hitam dan tebal turunan dari nenek dan sekarang nurun ke si bungsu.

Ibun itu pintar. Hadin nggak tahu sejak kapan punya pikiran kalau patokan kesuksesan dia minimal kayak Ibun. Padahal Ibun selalu bilang nggak perlu maksa diri buat belajar. Mungkin Ibun kerasa kalau dia banyak menghabiskan waktu mudanya buat sekolah dan belajar daripada having fun sama temen-temennya.

Ibun itu baik. Kalau bilang Ibun nggak pernah marah, nggak juga. Mereka kecil-kecil dulu Ibun suka marah. Gimana sih anak kecil tuh kan bandel ya. Apalagi waktu ngurusin si kembar. Cuma saat anak-anak Ibun udah mulai ngerti dan bisa dibilangin, Ibun nggak pernah marah lagi. Ibun nggak sadar kalau anak-anaknya pada baik itu karena dididik baik sama dia.

THE CAPTAINSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang