SPECIAL PART: TURNAMEN 17-an

313 47 10
                                    

***

10 menit waktu istirahat sebelum babak kedua kembali dimulai, Hadin buru-buru nyamperin Malik di sudut lapangan. Keringat sebesar biji jagung memenuhi seluruh wajahnya. Hadin sudah basah kuyup banget.

Dengan napasnya yang masih terengah-engeh itu, ia menanyakan hal yang seharusnya bisa nanti ditanyakannya. "Gimana tim Grit? Menang?"

"Menang."

Tapi Malik tak bisa menahan diri untuk tidak menjawab. Daripada Hadin kepikiran dan lagipula ini adalah kabar baik sudah seharusnya ia beritahu. Helaan napas Hadin panjang — tertahan sejak tadi. Grit dan tim putri lagi tanding di SMA 7 dan waktunya bersamaan dengan tim Hadin yang lagi tanding di lapangan sendiri. Jadinya Hadin nggak bisa datang untuk lihat.

"Udah lu fokus aja main. Grit sama yang lain langsung otw kesini."

Pemuda itu mengangguk cepat dan kembali ke anggota timnya di sudut lain. Skor sekarang 3–2. Tiga poin untuk tim lawan dan dua untuk tim Hadin. Malik jadi salah satu saksi di tribun gimana Hadin kewalahan banget hari ini. Dari pertama kali Malik lihat Hadin main futsal, dia nggak pernah nggak all out. Bener-bener Hadin itu dua orang. Dia beda banget kalau udah di lapangan. Dia senyum dan ketawa cuma pas nyetak gol.

Selama pertandingan babak pertama tadi, Malik tidak melihat kalau tim sekolahnya main jelek, tapi karena memang lawan mereka juga bukan tim sembarangan makanya skor kedua tim kejar-kejaran. 20 menit babak kedua pasti bisa membalikkan keadaannya, apalagi mereka main di kandang sendiri. Tapi Malik nggak sepercaya diri itu. Pasalnya Hadin udah habis-habisan banget di babak pertama. Dia udah tiga kali jatuh sampai lawan mainnya mendapatkan kartu kuning. Habis banget lutut-sikunya.

Peluit berbunyi panjang menandakan babak kedua dimulai. Teriakan semarak dari tribun membawa suasana jadi lebih meriah. Memang futsal di SMA Matahari jadi satu-satunya ekstrakurikuler yang paling banyak diminati. Tribun nggak pernah sepi setiap ada turnamen even cuma pertandingan antar kelas. Apalagi yang main Hadinanta dan kawan-kawan.

Kelima pemain masuk ke lapangan. Ada Enok juga yang udah habis-habisan. Mukanya nggak kalah seram sama Hadin. Di tengah kehebohan tribun, Grit muncul dan menyenggol bahu Malik pelan. Dua perempuan lainnya ikutan muncul juga — Rere dan Yuri. Ketiganya terengah-engah.

"Menang?"

"Belum. Baru mulai babak kedua."

"Berapa?"

"3–2."

"Siapa yang 3?"

"Anak SMA 10."

Malik melakukan obrolan ngebut itu sama Grit. Sedangkan Rere dan Yuri masih mengatur napasnya karena jelas mereka nggak bisa disamain dengan Grit yang masih bisa lari setelah melakukan pertandingan beberapa menit sebelum ini. Grit sendiri udah nggak sesak napas. Matanya mencari papan skor dan langsung memasang wajah cemas.

"Pasti menang,"

Pemuda itu tahu betul apa yang ada dipikirkan Grit. Semua orang di tribun juga sama. Mereka takut tim Hadin kalah. Untuk menang, Hadin dan timnya harus dapat dua poin. Dan di dalam kamus Hadin itu nggak ada istilah seri. Apalagi kalah. Grit tahu sekarang di kepala Hadin nggak ada tujuan untuk sekedar menyamakan skor. Dia tetap mau menang.

***

Setiap Hadin tanding, Grit nggak pernah absen. Atau emang berdua itu selalu berada di lapangan yang sama. Hadin bukan tipe yang kalau lagi main bakal lirik-lirik ke pinggiran lapangan — nyari pacarnya. Hadin benar-benar serius sama hobinya itu. Dia senyum dan ketawa cuma pas nyetak gol. Dan orang pertama kali yang dilihat saat nyetak gol adalah Gritte Ayanna.

THE CAPTAINSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang