-2. Rumah Baru

9 2 2
                                    

"Bunda, Vee takut." cicit gadis kecil yang membawa kotak berisi mainan kesayangannya. Sebelah tangannya yang bebas terus mencengkeram ujung baju bundanya dengan kepala yang berusaha ia sembunyikan di celah kotak kala tatapan orang sekitar terasa begitu menusuk.

"Tenang, Sayang. Nanti juga terbiasa." ucap wanita paruh baya dengan paras awet muda sambil mengelus surai kemerahan putrinya.

Mereka terus berjalan di tengah desa yang tampak amburadul, lengkap dengan penghuninya yang tak kalah buruk. Banyak orang memandang dengan tatapan curiga dan waspada. Ada yang mengintip dari celah lubang rumah dan pintu bambu rajut, celah batu besar, serta ada yang terang-terangan menatap dari tepi jalan namun sengaja beringsut mundur seolah-olah seonggok daging busuk tengah melintas di hadapan mereka. Ditemani cahaya rembulan, wanita itu terus berjalan lurus ke depan bersama putri kecilnya.

Seperti itulah sedikit deskripsi mengenai tempat tinggal Valeree yang baru. Begitu jauh dari kota, terletak di tengah hutan, pencurian dan perkelahian kerap terjadi di mana-mana, serta para penghuninya yang dianggap sebelah mata oleh masyarakat lain. Tapi meski begitu, Olivia tentu memiliki alasan tersendiri mengapa tetap memilih desa yang terkenal busuk ini sebagai hunian baru bersama putrinya. Wanita dua anak itu terpaksa memilih desa yang terkucilkan ini sebab latar belakang mereka yang tidak sengaja terungkap oleh publik.

Tiba-tiba sebilah pisau menancap tepat di sebelah Valeree yang sontak membuat gadis itu menjerit keras dan menangis. Ia benar-benar takut akan hidup di lingkungan suram ini.

Seorang pria dengan topi menutup dahi mendekat sambil memainkan pangkal tongkat bantu jalannya yang berbentuk tengkorak kecil dengan permukaan tidak rata.

"Jadi kalian pendatang baru yang datang dari kota?"

"Benar" jawab Olivia tanpa menurunkan pandangan dari manik kelabu pria tersebut. Keinginannya untuk tinggal di sini tetap bulat karena sebuah peraturan yang bisa menjamin keselamatan putrinya.

"Apa alasanmu memilih desa kami?"

"Saya juga merupakan bagian dari orang-orang seperti kalian. Saya cukup merasakan keunikan di desa ini" entah itu opini fakta atau hanya bentuk perlindungan diri, kalimat itu berhasil membuat aura pria di depannya yang semula mengintimidasi perlahan berubah menghangat. Pria itu lantas membungkukkan tubuh sambil melepas topinya ala pangeran yang hendak mengajak sang kekasih untuk berdansa.

"Selamat datang di Desa Hera. Saya Garfield, Kepala Desa di sini"

"Terima kasih. Bisa tolong antar saya ke alamat ini?" Olivia tidak ingin berlama-lama di hadapan banyak khalayak yang nampak tidak memiliki rasa malu menatap orang baru di tengah jalan bebatuan yang lebar ini.

Secarik kertas itu disodorkan kepada Garfield dengan sopan.

"Baiklah. Orang baru yang ramah pantas mendapat perlakuan ramah juga." Garfield balik badan setelah memberi isyarat untuk mengikutinya. Suaranya sedikit dikeraskan, menyebarkan kabar baik pada para warganya yang masih setia menonton.

Masyarakat desa yang tadi memperhatikan mereka, kini mulai membubarkan diri sebab sepertinya tidak perlu merasa waspada lagi terhadap orang baru itu. Kepala Desa sudah bersikap ramah, maka semua aman.

Valeree terus berjalan dengan langkah mungil. Matanya terus berpatroli takut akan hal-hal menakutkan yang bisa saja terjadi. Kepalanya sedikit menunduk, nyaris tertekuk sembilan puluh derajat.

Bangunan tua dengan halaman yang cukup untuk bercocok tanam, sebuah pohon mangga berusia puluhan tahun berdiri kokoh di sisi kiri rumah. Sumur timba di belakang sebagai sumber mata air rumah berukuran lumayan besar ini. Pagar besi setinggi hampir dua meter dengan ujung runcing layaknya bilah pisau yang bertaburan, menjulang tinggi melingkari wilayah rumah sebagai tameng pertahanan jika saja musibah tiba-tiba terjadi.

Dark VillageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang