Seorang gadis berusia sembilan belas tahun sibuk memasang angsel pintu dengan jari logam runcingnya. Alis berkerut menyiratkan sikap pantang menyerah sebelum menyelesaikan pemasangan pintu tersebut.
"Vee! Benar begini?" Louis menghampiri Valeree dengan membawa pintu bambu yang tingginya melebihi tubuh Louis sendiri. Valeree membantu Louis meringankan beban angkatnya, kemudian meletakkan pintu kayu ukir hasil karya Louis pada dinding kasar berbahan campuran semen dan bata tak rata. Bahkan disebut rumah tidak layak pakai lebih cocok menjuluki tempat tersebut. Tidak hanya satu rumah yang seperti itu, melainkan banyak di desa ini. Sebab desa ini tidak terbentuk dari nol, melainkan memanfaatkan kampung terbengkalai yang sudah ditinggalkan orang-orang sejak belasan tahun lalu.
"Anyamanmu lumayan." Valeree menepuk pucuk kepala Louis dengan sayang layaknya adik sendiri. Sorot matanya begitu hangat diiringi senyum menenangkan.
"Jauhkan tangan bau logammu!" Louis menjauhkan kepalanya dan bibirnya meliuk aneh. Remaja dua tahun lebih muda dari Valeree itu selalu mengikuti apa pun yang Valeree lakukan. Seperti sekarang, Valeree sedang sibuk melakukan rutinitasnya dalam membantu warga desa, selalu mendapat pandampingan dari Louis.
Valeree mengendus lengan kanannya dan kerutan samar timbul di dahi, "Sialan! Ini bau debu!"
Setelah selesai menggarap pintu, pemilik rumah ke luar dengan celemek masih menempel pada pakaian. Aroma bumbu dan minyak langsung menyeruak menembus indra penciuman.
"Sudah selesai?"
Valeree mengangguk ramah, kedua tangannya mengatup di depan perut.
"Uangnya bias ku ambil dulu."
Untuk menyewa jasa serba bisa Valeree dan Louis tidaklah mahal. Namun tetap saja tingkat kesulitan yang semakin tinggi juga memengaruhi harga. Hal ini sudah biasa mereka lakukan sejak tiga tahun yang lalu, dan hal baru selalu mereka jumpai kala melakukan pekerjaannya. Valeree dan Louis menikmati kegiatan mereka. Di samping mendapat uang, kebersamaan serta tawa tidak pernah luput tergantikan. Bermain dan bersantai sudah bukan tipe usia mereka yang memasuki jenjang serius dalam menjalani hidup.
Wanita bercelemek kembali menampakkan diri dengan beberapa koin perak dan sekantong makanan, "Ini kue kering. Habiskan, ya!"
"Te--"
"Terima kasih!" Louis menggeser tangan Valeree yang terulur hendak menerima kantong kue kering bertabur gula halus, mengambil alih makanan tersebut.
Di tengah keramaian desa dengan masyarakatnya yang sibuk sendiri, Louis berjalan sambil mengunyah kue kering hangat tanpa ada niatan berbagi.
"Enak?"
"Bilang saja kalau mau."
"Iya, aku mau." detik berikutnya Louis menyodorkan kantong coklat tersebut tanpa melirik Valeree.
Mereka menikmati kue kering hingga tak tersisa sambil menyapa warga sekitar yang tidak sengaja berkontak mata dengan mereka.
"Yang sampai lebih dulu libur kerja seminggu!" Teriak Valeree tiba-tiba diiringi langkah kaki yang bergerak dengan tempo lebih cepat, alias berlari. Mau tak mau Louis mengikuti permainan Valeree jika tidak ingin kalah dan mendapat ganjarannya, meski sungguh! Louis tidak suka jika Valeree selalu melakukan hal aneh tiba-tiba seperti ini.
Aksi kejar berlangsung hingga Valeree sampai di sebuah pagar menjulang tinggi dengan pintu raksasa berwarna kelabu. Siapa pun tidak akan menyangka jika pagar ini berisi lapangan terbuka yang digunakan untuk pelatihan anak-anak desa yang memiliki kemampuan unik.
Tempat ini sedikit jauh dari pemukiman, sebab tidak ada yang bisa memprediksi kesalahan apa yang akan dilakukan anak yang baru mulai belajar. Valeree masih ingat bagaimana ia hampir menumbangkan beberapa pohon akibat pusaran angin yang ia buat terlalu besar, dan beberapa warga yang kebetulan sedang berada di sekitar sekolah dalam rangka berburu hewan pun mengungkapkan bahwa mereka turut merasakan guncangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Village
RandomValeree menjalani kehidupan baru di usianya yang masih belia. Dipaksa berpisah dengan saudara kembarnya, hanya karena kelebihan yang ia miliki dianggap membahayakan orang sekitar. Memiliki kekuatan sihir bukan keinginan pribadi Valeree. Tanpa memint...