Lelaki berumur dua puluh lima tahun itu meletakkan kotak P3Knya di atas karpet, menghampiri bocah berumur tujuh belas tahun yang tengah menggenggam es batu yang hampir menjadi air itu pada pembatas pagar rooftop kamar.
"Masuk. Obatin dulu, Rega." Katanya seraya menunggu anak itu menoleh.
Tak lama, lelaki yang diminta untuk masuk itu menolehkan kepalanya dan menggeleng pelan.
"Nggak usah. Gue cuman perlu es batu, Kak Hima." Jawabnya seraya kembali menatap langit malam yang sendu.
Hima menarik pergelangan tangan anak itu pelan-pelan, "Gue udah beli ice cream, makan sambil gue obatin, ya?" Bujuk Hima menatap bocah di hadapannya dengan penuh harap.
Terdengar hembusan nafas berat sebelum akhirnya Rega mengalah dan mengikuti langkah Hima untuk masuk ke dalam ruangan.
"Gue iyain karena ice cream, bukan karena lo, Kak." Peringatnya tak ingin membuat Hima senyam-senyum sendiri.
Lelaki berumur kepala dua itu melipat kedua bibirnya ke dalam, menahan senyum seraya mengangguk-nganggukan kepalanya pura-pura percaya.
Rega nih, tipe-tipe anak muda yang cuek, ngomong kalo perlu, pelit senyum, ekspresinya juga gitu-gitu doang, Hima mah paham kalo Rega gengsian.
Terlepas dari bocah itu memang menyukai hal-hal yang dingin, tinggal bertahun-tahun bersama Rega yang notabenenya adalah orang asing, Hima paham betul seluk-beluk kehidupan Rega yang berusaha ia sembunyikan dari orang lain.
"Kenapa? Ada apa sampai lo lakuin ini lagi?" Katanya seraya memperhatikan lengan yang memiliki banyak luka goresan itu dengan luka barunya yang masih terlihat basah.
"Kesiram kuah bakso." Jawab Rega singkat seraya menatap luka gores yang tidak terhitung itu tengah dibersihkan menggunakan air dan kapas steril.
Hima mengeryitkan dahinya seraya meringis, "Panas?" Tanyanya memastikan.
"Lah iya," Sahut anak itu cuek.
Tidak tahu saja, ketika kuah panas bakso itu mengenai seragamnya dan menembus hingga ke kulitnya, Rega sempat dibuat seperti orang yang sakau, kilatan-kilatan memori menyakitkan itu seakan terus memperparah responnya terhadap trauma yang sudah lama ia derita.
Rega tiba-tiba meringis ketika area kulitnya yang sudah terkelupas itu tergesek oleh kausnya yang digulung oleh Hima tanpa ia sadar karena melamun barusan.
"Lo ngomong kek dari tadi! Ah elah, udah sampe kering gini! Ini lukanya udah lama anjir?" Omel Hima seraya mengambil beberapa kain kasa dan menutupi luka gores yang sudah diberi obat merah itu dengan plester.
Sedangkan lelaki yang tengah diomeli itu menatap Hima yang pergi ke kamar mandi untuk mencari salep dengan langkahnya yang tergesa-gesa. Bukannya apa-apa, Hima itu orang paling gerasak-gerusuk yang pernah Rega lihat.
Lelaki berumur dua puluh lima itu bahkan masih sering terbentur karena kecerobohannya sendiri.
Tiba-tiba suara benturan yang cukup keras itu terdengar, seperti suara besi yang bertubrukan dengan keramik.
"ANJING SAKIT!" Teriaknya dari kamar mandi.
Kan, apa Rega bilang.
Rega memutarkan bola matanya malas ketika melihat Hima keluar dari kamar mandi seraya meringis, mengusap-ngusap kepalanya yang terkantuk gantungan pakaian yang menempel pada dinding ruangan.
"Gara-gara ambil obat buat lo, nih!" Ocehnya.
"Dih, kok gue?" Balas Rega singkat meski di dalam hatinya ia tak terima karena disalahkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seraphic
General FictionPribadi yang tenang, namun terdapat riak ombak yang tidak bisa diam, pikiran yang berisik disetiap malam, harapan yang hancur disetiap kesempatan, dan cahaya yang perlahan padam di tengah-tengah kegelapan. "Gue gak akan minta maaf atas kesalahan yan...