Disclaimer!! Cerita ini tersedia di Karyakarsa
.
.
"Ya Tuhan, Gallen! Muka kamu kenapa lagi?! Habis tawuran ya, kamu?!"
Rebeca— Mama Gallen, tak bisa menyembunyikan kegeramannya usai melihat penampilan awut-awutan sang putra. Perasaan ketika berangkat pagi tadi, anak itu masih dalam kondisi layak lihat. Kenapa pulang-nya seperti maling yang ketahuan mencuri daleman perempuan warga komplek TNI.
"Calon mantu Mama tuh! Mata Gallen benjol sebelah jadinya!" Adu Gallen. Enak saja dituduh tawuran. Melihat gerombolan masa menghadang jalannya saja, ia putar balik untuk kembali masuk ke gerbang sekolah. Ia terlalu mencintai penampilan cetar membahananya, sampai-sampai tak rela turun tangan mempertahankan kedaulatan tempatnya mengenyam pendidikan.
"Nava?"
"Siapa lagi emang mantu, Mama! Gallen abis dilempar sepatu!"
Rebeca mendudukan dirinya. Tangannya menarik majalah yang sempat ia lempar ke atas meja. "Pasti kamu habis bikin gara-gara sama dia," ucapnya kembali ke dalam mode tenang. Calon menantunya tak mungkin main tangan tanpa sebab, mengingat anaknya memang selalu bertingkah menyebalkan.
"Kompres pake air es sana! Biar nggak lebam."
"Udah lebam, udah!!" Jerit Gallen frustasi. Kakinya menghentak-hentak lantai. "Anak ngadu itu dibela kek sekali-kali!" Gumamnya kesal sembari melangkahkan kaki menaiki anak tangga. Belum pernah ada sejarahnya ia menang meski mengadu seperti Tarzan hutan. Selalu saja Navara yang menang. Para wanita benar-benar menyebalkan.
"Halah sekarang aja kamu marah-marah, ntar sore coba. Lengket lagi kamu kayak perangko!"
Jleb!
Sungguh kalimat yang tepat sasaran. Ucapan Rebeca mengenai ulu hati Gallen. Seluruh organ di dalam tubuhnya bergoyang, menertawai tingkat kebucinannya pada Nava. Sehebat apa pun mereka bertengkar, tetap saja pada akhirnya ia mencari-cari keberadaan tunangannya itu.
Namanya juga cinta!!
Gallen membuka pintu kamarnya. Ia menekan saklar, menyalakan lampu yang setiap kali keluar selalu dimatikan. Maklum saja, hemat itu pangkal kaya. Sebagai penerus kedua kekayaan papa-mamanya, ia tak boleh boros mengingat dirinya bukanlah sosok yang menggantikan papanya nanti. Abangnya yang saat ini berkuliah di Sydney pun tak begitu menyayangi dirinya. Jaga-Jaga saja kalau suatu hari dirinya di depak tanpa harta warisan setelah papanya meninggal. Setidaknya ia sudah belajar berhemat sejak muda.
"Kebas banget muka gue!" Gerutunya, masih merasakan efek kebar-baran Navara di wajahnya. Gadis itu memang sangatlah bar-bar ketika marah. Siapa saja tak akan bisa menghentikannya, kecuali dia sudah merasa puas mengamuk.
"Kok bisa gue cinta sama yang modelan begitu," padahal banyak sekali gadis tergila-gila padanya. Namun tak ada satu pun diantara mereka yang mampu menggetarkan hatinya seperti Navara. Mereka hanya bisa membuat matanya sekedar berkedip karena kecantikan paras saja.
Gallen melemparkan tasnya, sebelum menghempaskan diri ke atas ranjang. Ia membutuhkan istirahat yang cukup, karena sore nanti ia harus memohon ampun kepada tunangannya.
Gadis itu sangat betah bertengkar. Dia tak akan mengibarkan bendera putih terlebih dahulu. Harus dirinya yang mengalah atau ia kesulitan sendiri pada akhirnya.
Sebenarnya dari mana mulanya ia menyukai anak tetangganya itu?
Apakah berawal dari Nava yang membantunya naik setelah secara tak sengaja ia tercebur comberan ketika pulang sekolah? atau kah saat gadis cantik itu berani pasang badan saat kakak-kakak kelas TK B mereka mengganggunya sampai menangis?
Gallen tak mengetahui persisnya. Namun tak jauh dari kedua kejadian tersebut, ia selalu menempel pada Nava. Ia yang anak manja begitu terbantu dengan kemandirian Nava sejak kecil. Banyak hal dirinya pelajari termasuk tidak menangis ketika mamanya harus ikut sang papa ke luar kota.
Secara garis besar— Ia bergantung pada Navara. Gadis itu merupakan sosok yang dirinya idolakan. Mereka tumbuh bersama. Saling membantu walau lebih sering dirinyalah yang dibantu oleh sang kekasih. Dirinya yang tak pernah akur dengan abangnya Sergio selalu memilih berdiam di rumah Nava sampai kedua orang tuanya menjemput.
Siapa sangka jika keduanya ternyata dijodohkan. Ia tak perlu susah-susah menaklukan Navara yang mengerti seluruh aibnya— karena mau tidak mau, rela tidak rela, gadis itu akan berakhir di dalam pelukannya.
Mata Gallen memberat. Kantuk menyerangnya. Pemuda itu menutup kesadarannya meski samar-samar mendengar knop pintu yang diputar dari luar.
"Ck! Kebiasaan nggak pernah ganti baju pas pulang sekolah."
Gadis yang Gallen lamunkan, masuk membawa sebuah baskom berisikan air dingin. Kebiasaannya setelah menyakiti Gallen adalah mengobati luka yang ia timbulkan. Ia memang bar-bar, tapi Navara tak pernah lupa apa itu yang namanya tanggung jawab.
"Benjol beneran," kikik-nya sembari menatap hasil karyanya. "Makanya punya mulut tuh dijaga! Sembarangan aja kalau cerita ke mereka," omel Navara meski ia tahu Gallen tak mungkin mendengarnya. Tangannya begitu cekatan mengompres lebam di mata Gallen.
"Sssttt.. Sakit ya?! Nggak ada kapoknya sih kamu!" Tangannya yang lain mengusap rambut Gallen supaya pria itu kembali terlelap.
Satu hal mengenai Gallen yang sangat Navara ketahui. Pria itu selalu sulit dibangunkan ketika tidur. Gempa bumi sekalipun tak akan bisa membuat Gallen terbangun kecuali memang sudah waktunya. Hanya kekerasan yang mampu membuat Gallen terjaga. Contohnya saja digulingkan dari atas ranjang. Cara itu sangat ampuh karena setiap hari ia selalu menggunakannya.
"Met bobok Gallen. Maaf ya. Habisnya kamu nakal banget pake cerita tali BH aku putus. Kan akunya malu." Ucap Navara lembut lalu meninggalkan kecupan di dahi Gallen. Sudut bibirnya mengembang tatkala melihat Gallen tersenyum dalam tidurnya.
"Dasar!" Ujarnya sebelum bangkit.
"Kok sebentar banget tumben? Nggak ditahan Gallen, Sayang?" tanya Rebeca saat Navara melewati wanita itu di ruang keluarga.
"Gallennya tidur, Mah. Kecapekan kayaknya. Tadi dia habis dihukum sama guru BK."
"His anak itu! Mentang-Mentang Opanya yang punya yayasan!"
Navara tertawa kecil menanggapi gerutuan calon mama mertuanya.
"Oh, iya, Sayang. Mama tadi pagi dapet laporan dari Pak RT. Katanya pas kapan itu dia liat Gallen lompat ke balkon kamar kamu tengah malem. Dia masih suka pindah bobok ke sana?" Selidik Rebeca mencari tahu kebenaran laporan ketua rukun tetangga di kompleknya.
"Em itu, Mah."
"Di usir aja, Sayang. Mama takutnya kalian kena grebek. Belum waktunya nikah loh. Ujian kan sebentar lagi. Ditahan-tahan dulu lah!"
Wajah Navara memerah layaknya kepiting rebus. Kenapa jadi dirinya yang seolah-olah ketahuan berbuat mesum. Padahal ia kan tak melakukan apa-apa bersama pria itu.
"Gallen-nya, Mah. Dia katanya nggak bisa tidur sendirian."
"Ah, modus aja itu. Dikunci aja ya pintu balkonnya mulai malem ini!" Saran Rebeca. Akan sangat memalukan jika keduanya dinikahkan karena suatu kesalahpahaman. Pernikahan mereka kan tinggal menghitung bulan. Tepat setelah kelulusan nanti keduanya juga akan tinggal satu atap.
"Iy-iya, Mah."
Di kamarnya Gallen tersedak air liurnya sendiri. Pria itu bermimpi buruk tentang Navara yang tak mengizinkannya masuk ke dalam kamar gadis itu.
"Cuman mimpi!" Lirihnya lalu mengumpat. "Fuck! Tapi kenapa kayak nyata banget, Anjing!!" Gallen lantas mengusap-ngusap perutnya, "amit-amit jabang bayi. Nggak mau bobok sendiri! Serem!" Ia tidak tahu saja jika apa yang dimimpikannya akan benar-benar terjadi malam nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
GAVA [The Young Marriage]
RomanceGallen yang pecicilan dan Navara yang galak- Keduanya terikat pada tali perjodohan. Meski sering gontok-gontokan, nyatanya keduanya tak bisa saling lepas. Hal ini membuat Navara harus ekstra sabar menghadapi sikap terlewat najis calon imamnya. Mampu...