2. Belanja

6 3 0
                                    

Jati meregangkan badannya yang terasa kaku setelah lama menatap layar komputer di depannya. Matanya menatap jam mahal yang melingkar di lengan kekarnya. Jam makan siang telah berlalu tiga menit. Ia memutuskan bangkit menemui sekretarisnya.

Tok tok tok

Tangannya langsung mengetuk pintu ruangan sekretarisnya yang berada dekat dengan ruangannya. Namun, tak ada respon dari dalam ruangan itu. Membuat Jati kembali mengetuk pintu itu sedikit lebih keras dari yang sebelumnya.

Tok tok tok!

"Siren?" panggilnya. Dahi Jati mengernyit ketika lagi-lagi tak ada respon dari dalam ruangan sekretarisnya itu.

Tok tok—

Ceklek!

"Maaf jadi menunggu, Pak. Saya ketiduran." Siren tergesa membuka pintu saat sadar bahwa dirinya ketiduran. Bahkan ia tak memikirkan tampilan dirinya lebih dulu sebelum bertemu atasannya.

Jati hanya menatap penampilan sekretarisnya yang satu itu. Dirinya ingin sekali tertawa saat melihat kacamata anti radiasi yang dipakai sekretarisnya itu miring ke kanan.

Siren yang sadar pun langsung berdehem malu seraya membenarkan tampilannya, "Silahkan masuk, Pak." ucap Siren setelahnya.

Anggukan kecil Jati berikan. Kakinya melangkah masuk ke dalam ruang kerja sang sekretaris dengan satu tangan ia masukkan ke dalam saku celananya. "Tugas tadi, sudah selesai?"

"Sudah, Pak." Siren segera mengambil dokumen yang sudah ia ketik ulang tadi dan menyerahkannya pada sang atasan. "Ini, silahkan, Pak."

Jati menerimanya, "Terima kasih." kemudian berbalik menuju pintu seraya meneliti kembali dokumen yang ada di tangannya.

"Eee... maaf, Pak." Siren memanggil Jati yang akan keluar dari ruangannya. Membuat setengah badan pemuda bisnis itu berbalik menatapnya. "Tadi pagi... bapak minta temani pergi di jam makan siang untuk membeli hadiah buat kekasih bapak kan?"

"Betul, tapi kamu kelihatannya capek. Saya jadi tidak enak mau nagih janji."

"Ngga apa-apa, Pak. Capek itu sudah hal biasa. Bapak justru malah lebih capek dari saya."

Jati yang awalnya hanya berbalik setengah badan, kini ia berbalik penuh menatap sekretarisnya. Kemudian menghela napasnya tersenyum. "Saya ngga akan potong gaji kamu kok, Ren."

Kedua tangan Siren langsung terangkat mengibas-ibas seraya tertawa canggung, "Bukan begitu, Pak. Saya memang takut gaji saya dipotong. Tapi saya juga sudah janji bersedia mau menemani bapak."

"Ya sudah. Kalau pergi sekarang bagaimana?"

"Baik, Pak."

***

Siren menghela napas lelah. Kakinya kebas karena sedari tadi tidak beristirahat. Sibuk berjalan ke sana kemari mengikuti sang atasan yang memutari hampir seluruh pusat perbelanjaan. Namun sampai saat ini pun atasannya masih belum juga menemukan apa yang ia cari.

Saat ini posisi mereka sedang berada di sebuah toko sepatu. Siren kembali menghela napas jengah dengan atasannya yang masih terlihat bingung melihat berbagai macam sepatu mahal di etalase. Ia yakin setelahnya pasti akan pergi lagi menuju toko berikutnya. Ya ampun, Siren harap ia dapat duduk meski hanya sebentar.

Wajah lesunya mengedar ke seluruh penjuru toko, mencoba mencari sesuatu untuk ia duduk. Tapi sebelum menemukan tempat duduk, matanya lebih dulu menangkap sebuah sepatu yang menarik perhatiannya. Menghilangkan sedikit wajah lesunya. Kakinya kemudian berjalan mendekat ke salah satu etalase. Diraihnya sepatu cantik itu dan mencobanya pada kakinya sendiri.

Hak MilikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang