02. Ayo Ikuti Dia

305 42 46
                                    


"IBU, APAKAH aku boleh ikut ke pesta?" Cinderella menunduk dengan bibir bergetar.

Kelihatan sangat takut bila perempuan di depannya murka. Nyonya tua dengan alis menukik itu melotot-lotot mendengar permintaan Cinderella. Ditambah lagi dengan kicauan kedua anaknya, ketidaksukaan sang ibu semakin meledak-ledak.

"Apa kau tidak sadar, hah? Penampilanmu buruk sekali!" Si sulung mendahului saudaranya untuk mencaci. Ah, aku tidak tahu siapa nama mereka berdua, jadi kusebut A dan B saja.

"Kau hanya akan memperburuk keindahan istana! Dekil, jelek dan tidak terawat! Fuh, bahkan sebelum orang-orang istana mengusir, prajurit tak kan membiarkanmu masuk!" tambah si B.

Cinderella menangis sesenggukkan. Aku bisa merasakan betapa sakit hati dirinya. Dihina, direndahkan, tapi tetap disuruh-suruh bekerja. Aku tidak akan pernah mau menjadi Cinderella yang terlalu naif.

Halilintar menepuk-nepuk pundakku. "Lihat yang begini saja kau sudah melow, bagaimana kau akan bertahan sampai di akhir?"

"Hah? Apa maksudmu?"

"Lupakan."

Aku beringsut, duduk di lantai yang dingin. Sedangkan Halilintar sibuk mencolok-colok lubang pintu dengan kawat, entah apa yang sedang dilakukannya.

Melalui indra pendengaran, pembicaraan yang tertangkap di dalam rumah, mayoritas berupa cacian untuk Cinderella. Tidak ada yang ingin mendengarkan maupun memahami keinginannya. Semua bersikukuh pada ego yang sama. Rasa malu bila membawa serta Cinderella ke istana.

Beberapa kali ada suara tinggi yang memerintahkan Cinderella untuk kembali bekerja dan membantu kedua kakaknya berias. Kemudian, suara-suara itu menghilang bersamaan bunyi langkah kaki mereka. Halilintar mencubit lenganku. "Ayo ikuti dia."

"Ke mana?"

"Ke dalam rumahnya."

Bagus sekali, di sini Halilintar berperan dengan amat baik sebagai pemandu wisata. Dia seperti sudah sangat hafal pada lokasi-lokasi di kerajaan ini. Padahal ini hanyalah mimpi. Aku pun bermimpi, tetapi kenapa aku tidak mengingat hal lain selain tragedi diinjak genderuwo albino?

"Bagaimana cara masuk ke dalam?"

Halilintar menggeram lalu menyentil dahiku. "Kau pikir buat apa aku mengotak-ngatik lubang pintu ini, hah?"

Saat aku membentuk huruf 'o' dari mulut, kakakku itu menarik tanganku. Kami mengendap-ngendap memasuki rumah bagaikan maling. Rumah ini cukup luas kalau hanya diisi empat orang. Setidak-tidaknya bisa menampung tujuh hingga sepuluh anggota keluarga.

Berlandaskan tebak-menebak, kami yakin kamar kedua kakak Cinderella ada di lantai atas. Maka berangkatlah kami ke sana dengan menjinjit-jinjit. Menaiki undakan tangga dengan cepat, berusaha meminimalisir suara langkah kaki.

Tak lupa pula mengawasi sekitar kalau-kalau Nyonya Besar masih di bawah. Saat berada di undakan terakhir, aku hampir terpeleset, namun beruntungnya Halilintar menahan punggungku. "Hati-hati."

Sambil menajamkan pendengaran, aku berbisik padanya. "Kenapa kita harus bersembunyi?"

Pertanyaanku membuat Halilintar terpaksa berhenti berjalan. "Ingat? Ini mimpi kita, segala yang terjadi di sini sesuai mimpi. Jangan mencoba menyalahi aturan."

Stupid Cinderella [HaliSol-Brothership!] - (E N D)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang