Sebuah Pembuka

803 68 34
                                    

Haiiiiii aing hendak menunaikan janji sejak tanggal 10 Juni di chapter 'Denganmu, Aku Tiada', tepatnya di book Viagem de Amor wkwkkw

Disclaimer: Alur cerita ini lebih menitikfokuskan pada penceritaan ulang  dongeng Cinderella sesuai dengan tema kontesnya pada waktu itu(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

****

Blurb:

Hanya karena keusilan ayah, kini aku dan Halilintar terombang-ambing pada masa kerajaan masih berdiri. Bukan Sriwijaya, bukan Majapahit, tapi justru di kerajaan, yang dalam dongeng menjadi tempat Cinderella berdansa!

***

Stupid Cinderella

HaliSol FanFic—Brothership!

#Fantasy

#Childhood

#Crossover

#Twisted Classic Story

****

"Cogitet et erit vera."

.
.
.

◉⁠‿⁠◉

HALILINTAR MENYUNDUL pantatku berkali-kali.

"Halilintar! Berhenti menubruk-nubruk pantatku atau aku akan terjatuh!"

Dia tak mengindahkan peringatanku. Terus melompat-lompat di kasur kala aku berupaya menyentak-nyentakkan gagang sapu agar pesawat mainan miliknya jatuh. "Aku heran sekali, kenapa ibu tidak segera memperbaiki plafon kamar kita?" tanyaku, "lubang bulat dengan gerigi-gerigi di sekitarnya ini bisa dijadikan markas maling!"

Alih-alih ikut menjelek-jelekkan kebiasan ibu, Halilintar malah berkomentar. "Wow, imajinasimu bagus juga, Solar!"

Persetan sekali kakak satu ini!

"Kenapa plafon kita bisa sampai berlubang?" Aku memandangnya dengan curiga. Wajah persis kriminal seperti dia wajib menjadi tersangka nomor satu!

"Kemarin ada troll yang menggelundung dan ambruk dari sana. Jatuh ke lantai, menggelundung lagi ke bawah kolong ranjangmu."

Aku menjerit dan langsung turun dari kasur Halilintar. Melupakan sapu yang mencium bibirnya. Lantas  bergegas menyibak selimut. Sialan! Ranjang kami tidak punya kolong!

Halilintar terbahak-bahak. Merasa berhasil membodohiku. Dengan geram kulemparkan semua bantal yang ada di ranjangku ke wajahnya. Dia meliuk-liuk dengan gesit, menghindari seranganku yang arahnya tak tentu.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Menampilkan sesosok tubuh jangkung berpiyama hijau lumut dengan air menetes-netes dari rambutnya. Setengah poninya menutupi seperempat wajahnya. Aku kira orang itu teman Tinkerbell yang habis kecemplung di got lalu nyasar ke rumah kami. Setelah pria itu menyibakkan poni, barulah aku sadar, rupa-rupanya ini ayah sendiri.

"Di rumah ada ayah?!" tanyaku dengan nyaringnya. Sengaja menekankan pertanyaan pada si kunyuk biadab itu. "Kalau begitu, kenapa dari tadi tidak suruh ayah saja, hah?!"

Halilintar terkekeh-kekeh lalu bersembunyi di belakang tubuh ayah. "Aku kakak baik, menawarkanmu tiket masuk surga jalur membantu orang."

Aku merasakan ada asap dan lahar panas yang ingin meledak dari telinga. Kepulan-kepulan asapnya sudah berkumpul di ubun-ubun. Membuatku melompat ke kasur dan membenamkan kepala di bantal.

Aku merasakan sisi ujung ranjangku melesak turun karena ada bobot lain yang menimpanya. Sesuatu menotol-notol lenganku. Sesuatu yang lain menarik rambut dan meniup-niup telingaku, yang satu itu pasti Halilintar!

Terdengar dua kikikan berbeda saat aku mencoba tidur. Tiba-tiba ada yang menarik tubuhku, mengangkat secara paksa. Ini pasti ulah ayah. Siapa lagi di rumah ini yang mampu mengangkat beban diriku?

"Ayolah, Solar, jangan ngambek seperti itu, sini, ayah akan menceritakan sebuah dongeng."

Karena aku anak kecil penyuka dongeng, moodku kembali bagus.

"Alkisah, di suatu kerajaan yang entah apa namanya, tinggallah seorang anak perempuan cantik, namanya Cinderella. Anak cantik ini tidak tinggal di kerajaan, sebab, memang bukan kerajaan dia. Dia tinggal bersama seorang ibu tiri dan dua kakak tirinya di suatu pedesaan. Ibunya sudah meninggal, disusul pula oleh ayahnya dengan warisan banyak tapi dibabat habis oleh ibu dan kakak tirinya.

"Setiap hari Cinderella disuruh mengerjakan pekerjaan rumah. Meski begitu, Cinderella tidak pernah membenci mereka. Hanya ada kasih sayang dan cinta di dalam hatinya."

"Iyuh, kalau aku jadi Cinderella, akan kuambil balik bagianku,"komentarku.

"Hei, jangan memotong cerita ayah!"

Akhirnya, kami sama-sama menutup mulut.

"Suatu hari ada sebuah undangan pesta dari kerajaan untuk semua gadis. Gadis yang beruntung dapat menikah dengan pangeran tampan."

"Jadi, dulu pangeran tidak dijodohkan? Maksudku, biasanya, kan, pernikahan dalam kerajaan itu untuk memperkuat relasi."

"Diam, atau ayah lem mulutmu."

"Emm, sepertinya tiga tahun lalu ayah pernah menceritakan ini," kata Halilintar sambil mengetuk-ngetuk dagunya.

"Tidak apa-apa, flashback."

"Benarkah?" tanyaku dengan dahi mengkerut.

"Dasar pikun," cibir Halilintar.

Tiba-tiba ibu memanggil ayah, membuat dongengnya terhenti di awal. "Ayah, cepat ambil ember di belakang, taruh di bawah lubang kamar anak-anak! Hujan lebat melanda kita!"

Benar, aku baru sadar bila rintikan hujan terus menabrak-nabrak atap rumah kami. Sebelum pergi ayah menyempatkan diri mencium dahi kami.

"Nanti lanjutkan, ya, Ayah," pinta Halilintar.

"Ayah jangan kau dongengkan lagi anak-anak kita! Biarkan mereka tidur!"

Ayah meringis, "Tentu," katanya, "nah, baca tulisan di kertas ini." Ayah menyodorkan sepotong kertas kuno pada Halilintar.

Halilintar menerimanya dengan riang, lalu membaca tanpa suara. Dia langsung melompat ke kasur lagi kemudian mendengkur.

Aku tidak ambil pusing pada kertas miliknya. Lalu ikut tidur juga. Sebuah bisikan mampir di telingaku. "Cogitet et erit vera."

💫

Scroll lagi ya sayang muehehe

Stupid Cinderella [HaliSol-Brothership!] - (E N D)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang