04. Sebuah Lamaran

411 45 11
                                    


BERBEKALKAN SEBELAH sepatu Cinderella, pangeran berkelana mencari gadis itu ke pelosok negeri. Merasa kehilangan.

Pangeran menjelajahi semua tempat, mencocokkan kaki banyak gadis dengan sepatu colongannya. Sayangnya, tidak ada satu pun dari mereka yang ukurannya pas, kebanyakan kelonggaran bahkan kesempitan. Pangeran mendesah kecewa, namun tetap melanjutkan pencarian.

Entah sudah berapa lama dia menjelajah, aku dan Halilintar pun tak kunjung kembali. "Hei, kenapa kita tidak pulang-pulang?"

"Memang sudah begini. Tenang saja, di alam nyata kita masih tidur dengan jam normal, kok."

Aku mendengus. Menatap nanar pada pakaianku. Piyama ini ... Astaga! Sudah berapa lama aku tak menggantinya?

Kami terus membuntuti pangeran karena hanya dirinya yang bisa dijadikan tempat bon. Mendapat makanan gratis, tempat untuk tidur, dan semacamnya. Mungkin dia prihatin dan menganggap kami macam gelandangan.

Pangeran berhenti di salah satu rumah. Hei, ini rumah Cinderella!

Nyonya Besar keluar saat prajurit mengetuk pintu rumah. Wajahnya ramah sekali saat melihat pangeran. "Ada perlu apakah sampai pangeran datang kemari? Hendaknya saya sahaja yang ke istana."

Pangeran menggeleng, "Tidak perlu, aku ingin mencocokkan sepatu ini. Gadis yang berdansa denganku tempo hari meninggalkan sepatu ini."

Nyonya Besar mengerjap-ngerjap. "Ah, akan kupanggilkan kedua putriku."

Saat A dan B datang, pangeran langsung meminta mereka mencoba memakai sepatu itu. Si A kesempitan, si B kelonggaran. "Apa kau tidak punya anggota keluarga lain? Barangkali ini miliknya."

Nyonya Besar menggeleng-geleng, "Tidak ada lagi, Pangeran, sungguh, tidak ada lagi."

Aku mendengar salah satu prajurit menegur seseorang. Nah, berlian ini akhirnya ditemukan.

"Nona, kemarilah," panggil sang prajurit.

Cinderella menunduk, menyembunyikan semburat malu di wajahnya. Sang pangeran menghampiri, bertanya apakah bersedia mencoba sepatu kaca ini. Cinderella mengangguk.

Dia memakai sepatu tersebut dengan pelan, dan yes! Pas! Yah ... itu, kan, memang sepatu dia.

Kebahagiaan terpancar dari kedua wajah mereka. Pangeran memeluk Cinderella erat, lalu berlutut, melamarnya. Cinderella mengangguk terharu. Pangeran memeluknya lagi seraya menciumnya.

Tepat saat itu pula aku melihat makhluk putih besar berlarian ke arah kami. Aku menjerit histeris. Tidak ... kenapa jadi nyata?

Aku menarik Halilintar untuk segera berlari. Aku tidak mau dirinya menyaksikan mimpi gilaku. Karena Halilintar tidak beranjak, aku terpaksa menyeretnya.

Tanah bergetar, membuat langkahku ikut sempoyongan. Berulang kali jatuh dan bangkit. Aku menarik kepala Halilintar agar ke depan.

"Jangan menoleh ke belakang!" teriakku. Namun, dirinya terus menoleh sampai peristiwa itu terjadi.

Makhluk besar itu menginjak ... bukan aku—tapi Cinderella.

Halilintar masih terpaku sebelum akhirnya menjerit kencang. Baru kutahu dia fobia darah. Aku ikut menangis melihatnya meraung-raung begitu.

Aku tidak sadar sudah sampai ke hilir sungai, kami sama-sama tersandung bebatuan, tercebur ke sungai. Lalu terbangun di alam nyata. Efek histeris Halilintar ikut terbawa sampai akhirnya ibu menenangkan dirinya.

💫

Akhirnya menuju satu bab terakhir(⁠~⁠ ̄⁠³⁠ ̄⁠)⁠~

Stupid Cinderella [HaliSol-Brothership!] - (E N D)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang