- 1. Kairi -

23 1 0
                                    

Hai, ini aku, Kairi.

Aku tidak punya banyak alasan untuk menulis ceritaku sendiri selain ingin mengabadikan nama seseorang di dalam sebuah buku. Mungkin cara ini terdengar kuno bagi teman-temanku yang tidak suka menulis diary. Aku sampai heran, memangnya hobi selalu ditentukan oleh lingkungan sosial?

Dulu saat masih sekolah, aku sedang rajin-rajinnya menulis puisi dan cerita pendek. Aku senang membagikan link karya sastraku agar mereka dapat membaca dan mengapresiasinya. Namun, kenyataannya berbuah pahit. Mereka mengejekku. Mengatakan bahwa aku perempuan yang tidak punya malu karena suka menulis peristiwa yang tidak sepenting rumus matematika.

Hampir setiap hari hal itu terjadi padaku. Aku santai saja, tidak ambil pusing. Lagipula, matematika tidak terlalu penting untukku yang mengambil jurusan Ilmu Bahasa dan Budaya di SMA. Aku sendiri masih normal, kok. Maksudku, bukan orang yang sangat pendiam dan hanya fokus membaca buku setiap detiknya. Masih ada kegiatan lain yang suka kukerjakan. Selain itu, masih ada stok teman yang mau menerimaku dengan baik.

Selain menulis, aku terbiasa mendengarkan musik yang menenangkan untuk didengar ketika sedang membaca atau mengerjakan tugas. Aku menyukai genre folks-pop yang biasa kuputar di platform musik online di handphone-ku. Kedua hal itu yang selama ini membantuku untuk menjalani kehidupan dengan normal. Semuanya berjalan dengan baik. Sampai akhirnya, takdir sengaja mempertemukanku pada orang yang salah.

Aku tidak tahu harus mulai menulis dari mana. Selama dua tahun aku terjebak di dalam hubungan tanpa nama yang berjalan dengan tragis.  Singkatnya, menjadi Kairi semenjak tahun 2019 sangat sulit. Aku selalu menyalahkan diriku atas kesalahan yang terjadi di hidupku. Aku selalu merasa akulah yang harus meminta maaf pada orang-orang, walaupun kelihatannya bukan murni kesalahanku.

Pernah suatu hari yang sangat cerah, aku keluar rumah menggunakan setelan baju ala vintage yang membuatku terlihat lebih feminin. Aku menaburkan bedak di wajahku, mengoles tipis liptint ke bibirku, mendandani diriku supaya terlihat anggun dan bisa tampil percaya diri. Aku telah mewarnai rambut panjangku secantik mungkin. Sayangnya, ekspektasiku terlalu tinggi untuk mengharapkan pujian dari orang yang kuanggap paling mengerti tentangku. Pada kenyataannya, ia mengucapkan kalimat-kalimat buruk dan merendahkanku.

🦋🦋🦋🦋🦋

Stereotip tentang Sabtu malam yang katanya akan ramai manusia berkeliaran tidak berlaku untuk wilayah Perumahan Dandelion. Hari-hari ketika aku mengintip jalanan dari pagar rumah selalu saja tampak sepi. Aku bahkan dari kecil tidak mengenal banyak anak yang seumuranku di sekitar sini.  Aku hanya melihat beberapa dari mereka jogging di pagi hari saat weekend bersama keluarga mereka.

Terkadang aku iri dengan keluarga yang selalu terlihat kompak. Bagaimana, ya, rasanya memiliki orang tua yang utuh? Apakah mama dan papa mereka tidak pernah bertengkar karena perkara sepele? Misalnya, seperti sama-sama sibuk dengan urusan masin-masing, unggul dalam ego masing-masing, lalu saling memutuskan untuk berpisah tanpa repot-repot berpikir panjang.

Aku sedang membaca sebuah novel sambil mendengarkan lagu dengan earphone di ayunan taman depan. Tiap baris kalimat kunikmati bersama alunan nada yang berdering syahdu dengan angin malam. Aku sampai terbawa arus suasana yang begitu syahdu di bawah langit berbintang. Hingga aku menemukan percakapan di dalam novel yang membuatku terpana.

"Asal kau tahu, hubungan yang dewasa adalah ketika ada masalah mereka akan menyelesaikannya, bukan memutuskan untuk berpisah."

"Tetapi kau tidak  mengerti! Kalimat itu hanya memihak perasaanmu saja. Lantas, bagaimana denganku? Kau tidak memperhatikan bahwa syarat terbentuknya hubungan itu dua orang yang sama-sama yakin untuk hidup bersama."

"Jadi, selama ini kau tidak menginginkanku?"

"Cinta itu telah habis seiring dengan perlakuanmu padaku. Lantas, untuk apa kau mempertahankan semua ini? Untuk mengikat manusia yang tidak memilihmu sebagai tempat pemberhentiannya?"

Suara klakson mobil di depan gerbang menghentikan konsentrasiku. Karena tidak ada jawaban dari siapa pun, pemilik mobil itu akhirnya mengarahkan mobilnya ke dekat taman. Mobil putih berstiker kepala naga di kap depan. Aku tahu siapa yang datang. Aku juga tahu ia datang untuk menjemput malam Mingguku.

Bukannya senang, tapi sekarang aku sangat cemas. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Aku mengkhawatirkan setiap kata yang akan muncul dari mulutnya. Aku melempar novelku begitu saja ke ayunan. Kemudian, aku bergegas pergi dari taman sebelum kaca mobil itu terbuka.

—————————
✧⁠*⁠。selamat membaca

Maaf ya kalo jelek. Masih pemanasan setelah sekian tahun vakum.
(⁠´⁠ ⁠.⁠ ⁠.̫⁠ ⁠.⁠ ⁠'⁠)(⁠〒⁠﹏⁠〒⁠)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 19, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kairi on SundayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang