JDV | CHAPTER 0.0

250 17 5
                                    

Jendra Dan Vania is back!

Ini alurnya bukan beda kayak di TikTok yaa, tapi emang harus lebih se-detail ini. Jadi cerita khusus di Wattpad ini aku tulis dari akar-akarnya kenapa Jendra bisa ketemu sama Vania. Yang aslinya bukan dari perjodohan doang kek di TikTok.

Selamat Membacaa!

______________________________________

"Vania."

Seorang gadis yang baru saja disebut namanya langsung menoleh ke sumber suara. Gibran, pria berkepala tiga yang menatap intens kearah Vania atau sang putri.

"Iya Ayah?" Vania tersenyum. Menatap sang Ayah dan sang Ibu secara bergantian tanpa melunturkan senyumannya. Ah ayolah! Apakah Vania belum tahu jika nanti dirinya akan di buang?

Hening. Ruangan yang bisa terbilang cukup luas itu terasa sangat hening, tak ada yang memulai pembicaraan.

Vania semakin bingung dengan keadaan sekarang. Ada apa ini? Mengapa Ayah dan Ibu nya hanya diam sambil menunduk saja? Vania benar-benar kebingungan sekarang.

Tanpa berucap, Carlissa menyerahkan selembar kertas putih yang entah apa tulisannya. Membiarkan Vania yang hanya mengerutkan keningnya bingung.

Tangan Vania terulur untuk mengambil selembar kertas tersebut. Senyum yang sebelumnya mengembang kini kian meluntur diiringi matanya yang mulai berkaca-kaca.

Surat pelunasan hutang.

Gibran Gibraltar sudah resmi melunaskan hutang yang ber-nominal 345 juta dengan cara menjual sang anak yang bernama Vania Batavia Aeris.

"Jangan bercanda seperti ini..." Vania meletakkan selembar kertas putih tersebut di atas meja yang berada tepat di depannya. Air mata nya meluruh, tak bisa di pungkiri sehancur apa hatinya ketika membaca kertas tersebut. Hatinya terasa diiris oleh pisau yang sangat tajam.

Di jual? Vania bukanlah barang yang bisa diperjual belikan begitu saja. Orang tuanya benar-benar menurunkan harga dirinya karena kepentingan diri sendiri.

"Kemasi barang-barang kamu Vania. Besok pagi kamu akan di jemput oleh rekan yang sudah membeli kamu." Carlissa menatap Vania dengan tatapan memelas. Tak ada rasa kasihan sedikitpun dari Carlissa untuk Vania. Se-tega itu kah Ibu nya?

"Vania gak mau.. Vania masih mau sama kalian,"

"Sampai kapan? Tidak ada untung jika kamu terus bersama kami. 16 tahun saya merawat mu tidak ada juga sesuatu dari mu yang bisa menghasilkan uang. Jangan menambahkan beban Vania." tekan Carlissa menatap tajam Vania. Tak ada tatapan lembut dari Carlissa, tak ada perkataan lembut dari Carlissa. Vania selalu ditatap dengan tatapan sinis dan tajam. Entahlah, Vania tak tahu mengapa Carlissa tak menyukainya.

Vania terdiam. Tanpa sadar Vania menertawakan dirinya sendiri di dalam hati.

Miris. Itu lah yang ada di pikiran Vania sekarang. Apakah hidupnya ini hanya untuk melunaskan hutang Ayahnya? Tak pernah terbayang di pikirannya jika dirinya akan di jual karena hutang seperti ini.

"Persiapkan dirimu. Ayah tidak mau menerima bantahan. Anak adopsi seperti mu memang pantas seperti ini." Vania menatap Gibran. Kaget? Tentu. Jadi selama ini dirinya hanya anak adopsi? Anak yatim-piatu yang di adopsi hanya untuk melunaskan hutang?

Oke. Vania sekarang tahu alasan mengapa Carlissa selalu menatap dirinya dengan tatapan tajam dan sinis. Tak pernah sekalipun Vania melihat sifat kelembutan seorang Ibu di dalam diri Carlissa.

Tetapi, Vania selalu berpikir. Mungkin sebenarnya, Carlissa pasti memiliki sifat lemah lembut layaknya seorang Ibu kepada sang Anak. Tetapi karena Vania hanya anak yang di adopsi, itulah mengapa Carlissa tidak menunjukkan sifat kelembutannya.

Sudahlah. Vania tak bisa membantah nya lagi, mau dibantah seperti apapun juga pasti tak bisa. Gibran dan Carlissa sudah sangat membenci Vania, lantas untuk apa Vania bertahan di dalam area yang tidak dapat menerima kehadirannya?

"Di hari sweet seventeen Vania nanti, apa kalian mau mengunjungi Vania?"

Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan sampai lima belas detik. Gibran dan Carlissa hanya saling pandang satu sama lain.

Vania tersenyum miris. "Ah iya, Vania lupa. Disaat Vania masih disini saja, setiap ulang tahun, kalian tidak pernah mengucapkan selamat pada Vania, apa lagi saat Vania sudah tidak disini." ucapnya lalu pergi meninggalkan Gibran dan Carlissa yang hanya terdiam.

                             _......_

Di dalam sebuah kamar dengan lampu yang redup, dan juga dengan kondisi atap yang tak memungkinkan. Ada seorang gadis yang tengah menangis dalam diam. Vania, gadis itu menangis tak bersuara karena tak tahu harus seperti apa lagi. Dirinya benar-benar pasrah dengan keadaannya sekarang. Di adopsi saat bayi, diberi makan makanan bekas, di jadikan bahan pelampiasan, dan sekarang? Dirinya harus menerima keadaan yang sangat memilukan.

Vania akui jika orang tua nya egois. Tetapi Vania harus bisa tahu caranya berterima kasih karena Gibran dan Carlissa sudah mau mengadopsinya. Tak apa Vania hanya di jadikan bahan pelampiasan dan pelunas hutang, yang terpenting, Vania bisa membuat Gibran dan Carlissa senang.

"Besok pagi?"

Dua kata yang terus muncul di benak pikirannya sekarang. Mengapa harus secepat itu? Padahal Vania masih ingin menghabiskan waktunya bersama Gibran dan Carlissa.

"Vaniaaa, fokus! Ayo kemasi barang! Jangan buat Ayah sama Ibu marah dan kerepotan lagi!"

Huh! Tak apa, Vania sudah biasa mendapatkan cobaan berat. Dirinya pasti bisa menghadapi cobaan ini satu-persatu.

______________________________________

Jendra Dan Vania Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang