Aku hanya bisa mengulum senyum saat semua pasang mata menatap dengan tatapan intimidasi. Mas Hanif juga kenapa sih datangnya gak pakai kode dulu.
"Maaf sebelumnya, Mas. Tapi ini terlalu mendadak buat saya. Kalau Mas Hanif gak keberatan apa boleh saya memikirkannya dulu. Soalnya ini bukan tentang hari ini dan esok saja. Tapi keputusan yang akan saya ambil akan berpengaruh pada kehidupan kita seumur hidup." jelasku panjang lebar.
Ayah dan Bunda pun setuju dengan pendapatku.
"Bagaimana menurutmu, Le?" Ayah kembali bertanya pada Mas Hanif.
"Saya setuju Pakde. Karena keputusan ini berdampak pada masa depan kami berdua, jadi harus dipikirkan secara matang. Jangan lupa kasih tahu saya kalau sudah ada jawabannya. Syandana, saya tunggu."
Aku mengangguk meskipun merasa ragu. "Siap, Mas. Siap. Mas Hanif silakan datang kembali dua minggu lagi, insya Allah dua minggu waktu yang cukup untuk saya minta petunjuk-Nya."
"Baik kalau begitu. Pakde, Bude, terima kasih sudah menyambut hangat kedatangan saya. Kalau begitu saya pamit."
Mas Hanif unjuk diri dari tempatnya. Sebelum pulang ia mencium punggung tangan Ayah, menangkupkan kedua tangan di dada pada bUnda, lalu beralih tersenyum padaku.
Kini Bunda dan Ayah menatapku lekat-lekat.
"Gimana Sayang?" tanya Bunda padaku.
"Gimana apanya, Bun?"
Sebenarnya aku tahu maksud pertanyaan Bunda. Tapi aku hanya ingin meyakinkan saja bahwa Bunda akan bertanya hal yang sama seperti beberapa waktu lalu.
"Ayah sih suka sama Hanif. Kita udah mengenal kedua orangtuanya dengan baik. Ayah yakin Hanif itu orang yang baik dan mampu mendidik kamu, Nduk." kata Ayah sambil mengusap-usap kepalaku yang tertutup hijab dengan lembut.
"Tapi secepat itu kah, Yah? Syandana masih belum bisa jauh-jauh dari Ayah dan Bunda."
Kini Bunda pun ikut menambahkan. "Eh gak boleh gitu dong. Kamu menikah bukan berarti menjauhi Bunda dan Ayah. Hanya saja peralihan tanggung jawab Sayang. Tanggung jawab yang dulu dipikul Ayah akan beralih pada suamimu. Lagi pula, kalau memang jodoh kamu Hanif kan malah enak. Nanti gak jauh pulang kampungnya."
Bibirku mencebik, kini kepalaku bersandar manja di pangkuan Ayah.
"Syandana masih bingung, Yah.
"Iya Ayah paham. Kamu masih punya kesempatan untuk meminta petunjuk Allah. Mintalah padanya supaya hatimu tidak ragu dan menemukan keputusan yang tepat."
"Makasih ya Yah, Bun. Udah ngertiin Syandana."
"Iya Sayang."
"Kalau gitu aku pamit ke kamar dulu. Selamat malam."
Aku meninggalkan Ayah dan Bunda yang terjaga dan kelihatannya mereka sedang diskusi dari lamat-lamat yang kudengar.
Pintu kamar kukunci dari dalam. Setelah mengganti pakaian dengan piyama tidur--tidak lupa skin care-an dulu--kurebahkan tubuhku di atas ranjang berukuran queen size ini. Sambil mengamati langit-langit kamar, pikiranku kembali berkelana.
Ada Mas Hanif yang tiba-tiba datang melamar. Padahal itu sama sekali tidak pernah terlintas di kepalaku. Meskipun dari segi mana pun dia adalah tipe pria idaman setiap wanita. Parasnya elok dipandang. Hidungnya lancip dan memiliki warna kulit putih mulus yang jarang dimiliki oleh pria berdarah jawa. Tapi aku lebih suka dengan pria berkulit sawo matang yang terlihat lebih menarik bagiku. Dan yang memiliki warna seperti itu adalah Mas Fathan.
Mas Fathan adalah penghuni komplek sebelah yang baru pindah beberapa tahun silam. Kami pun baru mengenal satu sama lain di organisasi, dan itu masih beberapa bulan yang lalu. Dari caranya bersikap, bertutur kata, membuat ia disegani.
Awalnya biasa saja. Hingga kini setiap bertemu dengan pria berbulu mata lentik itu aku pun seperti memiliki debaran yang berbeda.
Kalimat yang masih tergiang-giang memenuhi kepalaku. Meskipun kita terjun di organisasi Islam yang namanya pacar-pacaran atau comblang-un dengan alibi sebagai penambah semangat itu ada.
Di saat kami satu sama lain saling olok-olokan jodoh menjodohkan Mas Fathan yang saat itu ditanyai tentang doi dengan lantang ia menjawab, "Maaf, untuk saat ini saya belum memikirkan hal itu. Saya ingin fokus terhadap pengembangan diri saya. Dan apabila waktunya sudah tiba, saya akan memintanya pada ayahnya, karena wanita itu istimewa. Bagi saya menjaganya dalam doa itu cara yang paling tepat."
Aku yang awalnya terkunci dengan ponsel di tangan merasa takjub. Wajahku terangkat. Untuk sesaat aku memindai wajahnya dengan saksama. Wow, masih ada pria yang memegang prinsip semacam itu. Di zaman gembar gembornya pacaran. Andai tak ada orang di sana aku akan tepuk tangan paling keras. Aku terpukau.
Mungkin rasa itu sebatas kagum. Iya, aku hanya kagum semata pada Mas Fathan. Tapi melihat tingkahnya yang aneh itu membuatku mulai berharap. Berharap jika wanita yang ia coba jaga adalah aku.
Aduh, aku harus apa sekarang.
Setelah memikirkan semua itu mataku sudah terasa berat dan sulit untuk terbuka. Tak lama kemudian aku, sudah tertidur karena rasa kantuk yang melanda sudah tak bisa kutahan.
**
Ica memandangku seperti hendak tertawa tapi ia tahan.
"Tuh kan apa aku bilang. Kamu pasti mentertawakanku, udah tertawa aja gak usah ditahan." Wajahku kini mulai kesal.
Benar saja. Setelah menceritakan semua yang tertahan di dalam dada akhirnya Ica tertawa lepas. Pasti setelah ini dia akan mengolok-olokku. Bahkan meledek, sahabat macam apa itu?
"Hahahaha... Ya ampun segitunya kamu ya. Masak masalah ati kamu umpetin sendiri. Ya maaf sih kalau aku ketawa. Tapi sumpah ya, aku bukan ngetawain perasaan kamu. Aku hanya ketawa karena kamu tuh kalo cerita udah kayak anak sd yang ketahuan nyontek oleh gurunya. Dih sumpah deh lucu banget." Ica makin terbahak sampai memegangi perutnya. Bibirku makin manyun beberapa senti ke depan.
"Terus solusinya ini gimana, Ca?"
Ica mengambil napas sebelum menjawab pertanyaanku.
"Gini. Kamu udah kenal Mas Hanif dengan baik. Kita juga udah kenal Mas Fathan tapi belum sebaik seperti kita kenal Mas Hanif. Pertanyaannya adalah kamu mau yang pasti pasti aja, atau yang masih gantung kayak jemuran lupa diangkat?"
Aku memutar bola mata malas.
"Duh, Ca. Yang jelas dong, aku udah pusing mikir hidup ini ditambah pertanyaan kamu yang makin gak jelas itu."
Ica menepuk jidatnya.
"Syandana cantik, budiman, rendah hati, pandai menabung. Intinya tuh kamu harus milih yang udah jelas di depan mata, yaitu Mas Hanif. Atau nunggu yang entah sampe kapan kepastian dari Mas Fathan. Kalau aku jadi kamu sih yang pasti pasti ajalah. Karena takutnya nanti terlalu berharap akhirnya kecewa. Duh sakit ati kan, gak deh. Tapi kembali lagi kamunya gimana." Cerocos Ica panjang lebar.
Aku mengembuskan napas pasrah.
"Kalau tentang perasaan... Aku yakin kalau cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Mikir yang mateng dulu, Syan. Jangan lupa minta petunjuk Dia yang Maha Membolak-balikkan hati," Tambah Ica lagi.
"Masih ada waktu kan buatku istikharah. Semoga aja Allah lekas memberi petunjuk."
***
Ada yg nunggu
Emang ya, niat libur satu hari eh malah keterusan. Dasar!
See u di bab selanjutnya
KAMU SEDANG MEMBACA
Peta Jodoh
SpiritualPeta Jodoh Syandana tidak tahu menahu kemana hatinya bertaut. Di sisi lain ada pemuda bernama Fathan yang seolah memendam rasa untuknya. Tapi belum yakin betul akan hal itu karna Fathan belum pernah bicara secara gamblang. Disisi lain, pemuda bernam...