Dilema

4 1 1
                                    

Jam tangan yang melingkar di tanganku menunjukkan pukul setengah dua belas. Sebentar lagi akan memasuki waktu Dhuhur. Aku melihat anak anak panti begitu senang. Mereka sangat antusias dengan bakti sosial yang digelar.

"Syan udah adzan. Ke musala yuk," ajak Ica yang langsung kusetujui dengan anggukan kepala.

Aku dan Ica berjalan ke arah musala panti yang terletak di halaman depan. Baik kami, para panitia dari remaja masjid-- dan anak panti berbondong-bondong untuk melaksanakan shalat Dhuhur berjamaah.

"Eh nanti selepas baksos kamu mau langsung balik rumah?" tanya Ica.

Aku yang sedang mengikat tali mukena menoleh, "kenapa emang?" bukannya menjawab aku malah balik tanya.

"Gak pengin kemana-mana dulu gitu?"

Ish kebiasaan si Ica, berbelit dulu.

Aku diam sejenak untuk berpikir.

"Kita ngafe gimana?"

"Kuy!" teriak Ica yang sontak membuatku harus membekap mulutnya,

"Ini musala, Ca."

Ica terlihat menyesal. "Maaf."

Semua pun merapatkan shafnya karena iqamah sudah terdengar tanda shalat akan segera dimulai.

"Allahu akbar."

Aku sedikit tertegun. Suara takbir yang sangat tidak asing itu menyelip ke indera pendengaranku. Iya, itu adalah suara milik Mas Fathan. Jadi dia mengimami shalat siang ini. Duh, kali ini aku tak yakin dengan kekusyu'an ibadahku. Pikiranku berkelana jauh tentang imam yang kini berdiri di depan.

Syandana, istighfar...

Setelah shalat semua kembali ke aula panti untuk acara penutupan.

Acara ditutup dengan pemberian buah tangan dari panitia, lalu dilanjut doa. Sebelum benar-benar buyar kami mengambil foto bersama.

"Ngafe dimana nih?" tanya Ica sambil mengeluarkan motor dari parkiran.

"Yang searah sama jalan pulang." balasku lalu mengunci helm yang baru saja kupakai.

Beberapa menit kemudian aku dan Ica sudah sampai di kafe yang identik dengan masakan mienya.

Kafe yang dominan dengan warna wood itu sudah biasa kami kunjungi. Ica langsung memesan makanan dan minuman seperti biasa, sedangkan aku berjalan menuju lantai dua untuk memilih tempat duduk ternyaman. Aku memilih di balkon kafe yang menyuguhkan padatnya jalanan.

"Pilihan yang tepat."

Ica datang lalu duduk berseberangan denganku.

"Acara tadi seru banget ya, Syan. Anak-anak panti sangat antusias. Kalau seperti ini jadi ketagihan pengin baksos lagi. Gak nyangka juga ya, organisasi yang belum genap empat bulan jalani aktif kembali kayak sekarang." cerocos Ica.

"Hmm."

"Ih pelit banget jawabnnya." protes Ica.

Pandanganku menatap lurus ke jalan. Pikiran pun berkelana tanpa arah.

"Syan, kamu kenapa sih?"

Ica menepuk bahuku.

"Emang aku kenapa?"

Ica memutar bola matanya. "Dari tadi kamu kelihatan beda deh, kayak ada beban hidup yang berat banget. Ada apa sih?"

"Duh, gimana ya aku sendiri bingung."

"Mbak Ica!" ucap salah pelayan yang membawa makanan kami.

"Iya Mas." Ica mengangkat sebelah tangan, lalu pelayan itu mendatangi kami.

"Selamat menikmati," ucapnya dengan tersenyum ramah sebelum meninggalkan aku dan Ica.

Ica langsung menyeruput es teh miliknya.

Biasanya mie pedas level setan di depanku akan menjadi mood booster. Tapi siang ini seperti tak selera untuk menyantapnya. Aku hanya mengaduk-aduknya.

"Pusying kali tuh mi diaduk-aduk mulu."

Ica terlihat menyantap makanannya dengan begitu lahap. Maklum dia ini tipe doyan makan tapi anti gendut. Tubuhnya segitu-gitu aja. Mentok diangka empat puluhan. Beda jurusan denganku, yang kalau makan banyak dikit aja dah nambah berat badan.

"Kamu kenapa sih, Syan?" tanya Ica lalu melahap makanannya kembali.

"Aku tuh bingung harus nerima lamaran Mas Hanif atau menolaknya?"

"Uhukk..uhhuuk... tunggu apa kamu bilang?" Mata Ica melebar seperti akan keluar dari tempatnya. Ia meneguk airnya, lalu kembali melempar kembali pertanyaan padaku.

"Lamar? Mas Hanif. Duh apa sih, Syan. Yang jelas dong!"

Kini Ica menegakkan tubuhnya dan menatap lurus ke arahku, menanti penjelasan dariku. Oh iya, Ica kan memang belum tahu mengenai lamaran dari mas Hanif. Emang sengaja mau bikin kejutan sih. Tapi ternyata sulit juga kalau uneg-uneg dipendam sendiri.

"Jadi satu minggu yang lalu itu Mas Hanif melamarku-"

"Oh gitu sekarang. Kamu udah gak mau berbagi sama aku. Dapat lamaran diem aja, kamu anggap apa aku selama ini Syandana. Bukankah kita sahabat baik?" belum juga selesai bercerita Ica malah memotong dengan argumennya.

"Tunggu dulu dong. Sabar napa."

"Habis, kabar sebahagia ini kamu pendam sendiri. Aku kan juga ikut senang mendengar kabar ini." KIni Ica menyilangkan kedua tangan di dada dengan raut wajah merajuk.

"Iya deh maaf. Tapi kamu dengar aku dulu dong biar gak salah paham."

"Iya-iya aku ngalah."

Ica menyeruput sisa es tehnya sebelum menyimak kisahku dengan saksama.

"Satu minggu yang lalu Mas Hanif datang melamarku di depan Bunda dan Ayah. Tapi-"

"Tapi kenapa? Kalau aku jadi kamu sih langsung gas aja. Mas Hanif lho ini, anak Umi guru ngaji kita itu kan?" sela Ica.

"Duh sabar dong bes."

"Oh iya lanjut-lanjut."

"Aku tuh gak punya perasaan sama sekali sama dia. Apalagi kita udah lama banget gak ketemu, udah lupa aku kayak apa dia. Paling juga udah berubah, dulu kan kita berteman saat masih kecil."

"Kalau menurutku sih perasaan itu nomor sekian Syandana. Mas Hanif tuh udah masya Allah banget. Kita juga tahu betul keluarganya seperti apa. Kayaknya banyak ruginya kalau nolak."

"Ada benarnya sih ucapan kamu. Tapi kamu gak ngerti."

"Lha ngerti dari mana orang kamu gak jelasin."

Aku manggut-mangut sambil nyengir kuda.

"Gimana ya ngomongnya."

Jari-jari tangan gemerutuk di atas meja. Bagaimana menjelaskannya pada Ica sedangkan aku sendiri belum yakin dengan perasaanku. Mungkin memang aku yang terlalu percaya diri dan mengharap Mas Fathan memiliki rasa.

"Tapi kamu janji ya jangan ngeledek."

Satu lagi yang aku takuti. Jika benar hanya perasaanku saja aku takut Ica akan mengolok-olokku, atau mentertawakanku.

"Iya bestie, tenang aja. Emang apa sih masalahnya sampe mikir panjang kek gitu. Udah kayak mikir utang aja."

Duh bilang gak ya. Aku takut setelah hal yang baru ini Ica ketahui, pasti saat dia melihat Mas Fathan dekat denganku keadaannya akan beda lagi. Tapi mendem sendiri rasanya gak enak banget.

***

Eh udah di bab 2 aja ya
Untuk teman-teman yg, mengikuti kisah Syandana aku ucapkan terima kasih banyak, semoga proses menulia kisah ini berjalan lancar sampai akhir kisah, alias tamat. Apalagi, sampai dapat bonus terbit. Aamiin, di-aamiin-in dulu gakpapa kan hehehe

Kira-kira Syandana bilang ke Ica gak ya?
Jawabannya ada di bab selanjutnya👉

Peta JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang