~•••~
"Bunga-bunga bermekaran, itulah dirimu yang sebenarnya"
Aku tersenyum, lirik lagunya selalu mengundang hangat di hati. Aku penasaran, siapa gerangan sumber inspirasi. Pastinya, wanita itu beruntung. Menjadi karya indah, abadi.
Pagi ini, secara acak kudengar lagunya yang berjudul Kelopak Bunga. Tidak boleh tidak, pagiku harus dibuka oleh dendang lagunya. Kaisan, penyanyi solo pria favoritku.
"Jangan kau risaukan keberadaanku. Kupastikan tak selembar pun kelopak putus dari tangkainya."
Aku damai dan aman, hanya dengan mendengar alunan tenang gubahannya. Ditambah suara lembut beralun dengan lirik yang tak pernah gagal, buat perut serasa penuh dengan kupu-kupu.
"Kupastikan hariku sehangat not irama musikmu, Kaisan," ucapku tersenyum lebar.
Ia balas tersenyum, meski tak pernah bisa berkedip. Sebab hanya mematung di dalam pigura kecil meja belajarku.
Hari ini aku pergi ke perpustakaan kampus. Semester ini sudah tak ada mata kuliah yang harus kuambil, alias sibukku hanya tugas akhir. Memang aku tak pernah disibukkan oleh hal lain, selain tugas kuliah.
Ah, mungkin juga sibuk menikmati keindahan irama hati Kaisan. Itu saja.Aku tak suka tergesa. Kegemaran mendengarkan musik, buatku menikmati tiap detik waktu yang berjalan. Sebab semakin lamban ku bergerak, semakin aku bisa resapi tiap ketukan musik yang kudengar.
Seperti hari biasa, aku memarkir motor di tempat yang tak dekat dengan tempat tujuan. Agar aku dapat cukup berjalan, untuk menikmati musik yang kudengar dari perangkat jemala di telinga. Berjalan santai saja.
"Melangkahlah, kau takkan pernah tahu garis mana yang Tuhan takdirkan untuk bersambung."
Lagu kali ini memiliki ketukan lamban, buatku berjalan ke pinggir. Untuk sejenak, aku menarik napas panjang sambil terpejam, lalu hembuskannya. Kunikmati damai yang dihantarkan.
"Ma-maaf! Aku sedang terburu-buru." Seorang pria tiba-tiba menabrak bahu kananku.
Ah! Tidak! Damaiku rusak.
Dahiku berkerut. Tatapanku yang tajam tak ada guna. Pelaku hanya ucap maaf sejenak, langsung melengos begitu saja.
"Huh! Tak ada ketulusan sama sekali. Padahal aku sedang menikmati killing part kedamaian lagu ini. Merusak suasana hati saja!"
"Lepaskan gundahmu! Ku di sini genggam hangat tanganmu. Kita beriringan lewati hari ini."
Aku selalu mendengar lagu Kaisan secara acak, sebab selalu beri kejutan. Seringnya, lirik yang terdengar sesuai dengan keadaan hati.
"Baiklah, Kai. Mari kita lewati hari ini. Meski di awali dengan insiden tak mengenakkan," bisikku bermonolog dan mulai melangkah lagi.
-*-*-
Mengapa membaca buku selalu buatku mengantuk? Apa penulis meracik obat tidur pada tiap kata di bukunya? Menguap sudah tak terhitung lagi kulakukan.
"Pukul 11. Ah! Pantas saja. Sudah tiga jam aku berkutat dengan buku-buku ini."
Baru hendak mengemasi buku yang bertumpuk di sekitarku, baju motif garis-garis itu tampak olehku. Seperti kenal. Oh iya! Dia pelaku tabrak lari tadi pagi.
Aku hanya menatapnya saja, tak bermaksud balas dendam. Tapi kulihat ia mendekat. Hmm, ingin apa dia? Meminta maaf lebih tulus?
"Maaf, apa kau sudah selesai membaca buku metodologi penelitian itu?"
"Oh? Iya sudah." Perkiraanku meleset.
Pria baju bergaris itu mengambil beberapa buku di hadapanku. "Aku pinjam, ya. Terima kasih banyak."
Hmm, setidaknya cukup tulus dari pada ucapan tadi pagi.
Baru saja aku ingin lanjut membereskan buku yang lain, tiba-tiba ia berbalik.
Apa lagi? Apa ia baru ingat dan ingin meminta maaf?
"Kenapa?" kataku datar, ia tampak ragu-ragu berucap.
"Dimana kau dapat gantungan kunci itu?"
"Eh?" Meleset lagi perkiraanku.
"Maksudmu ... yang bergantung di tasku? Aku mendapatkannya di acara musik. Sepertinya tidak diperjualbelikan."
"Ah, begitu rupanya. Pantas saja." Aku mengerutkan dahi seraya memiringkan kepala. Pantas apanya?
Sepertinya ia menangkap radar bingungku. "Aku kira bisa mendapatkannya di toko pernak-pernik terdekat. Aku baru saja jadi penggemar Kaisan, jadi belum sempat ikut acara kala itu."
Mataku melebar, bahkan hampir copot. Apa-apaan ini! Kenapa pria ini sangat tidak terprediksi?
Aku mematung sejenak sampai ia tertawa dan menggoyang bahu kananku pelan. "Ke-kenapa kau melamun? Ucapanku ada yang salah?"
"Eh. Ma-maaf. Aku hanya tak menyangka bisa bertemu penggemar Kaisan yang lain." Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal.
"Entah kau sudah tahu atau belum, tapi Kaisan itu sudah tiga tahun berkarya. Sayang, karyanya masih belum berhasil menjangkau minat yang lebih luas. Aku saja yang sudah tiga tahun mengikuti karirnya, baru sekarang menemukan sesama penggemar Kaisan di kampus ini."
Matanya berbinar, tampak larut dengan penjelasan panjangku. Namun, ia tiba-tiba menatap jam tangan.
"Sayang sekali, aku kali ini tak bisa berbincang lebih lama. Aku sungguh sangat tertarik dengan lagu-lagu Kaisan. Sepertinya sangat menyenangkan berbincang denganmu, penggemar sepuh."
"Tidak bisakah kau pilih kata yang lebih baik dari sepuh?" Aku tahu ia beri penghormatan, tapi kata itu sangat tidak enak didengar.
"Haha, iya maaf. Penggemar setia."
Aku tersenyum mengacungkan jempol padanya. Ia balas dengan menyodorkan telepon genggamnya.
"Boleh minta nomor WhatsApp mu?"
Wow! Lugas sekali anak ini.
Aku raih dan segera ketik nomor serta namaku.
"Takiyah," ulangnya membaca nama kontakku.
Aku berangguk lalu menanyainya, "Namamu?"
"Kayden," ucapnya sambil menjabat tangan kananku. Tiba-tiba hangat. Menggetarkan sampai ke hati.
Ia kemudian berlalu, lagi. Sebentar. Mengapa aku senyum-senyum sendiri?
Ah, iya. Akhirnya, setelah tiga tahun mencintai sendirian, kini aku punya rekan mencintai alunan yang sama.
_***_
KAMU SEDANG MEMBACA
Lagu Kita
Short Story"Melangkahlah, kau takkan pernah tahu garis mana yang Tuhan takdirkan untuk bersambung." - Kaisan, 2017. Asyik ya, mencintai orang yang selera musiknya serupa. Apalagi suka pada musisi yang sama. Meski begitu, cinta bukan hanya sebatas miliki kesuka...