~•••~
"Halo, Kiya." Suara lembut di seberang telepon menyapaku.
"Iya, ada apa, Kak?"
"Kenapa kaupanggil aku Kak, lagi?"
"Ah, iya. Maaf, Kak-Eh, Kay. Huh! Susah bagiku tak memanggilmu dengan sebutan 'Kak'. Bagaimana mungkin seorang yang baru hampir sarjana, hanya memanggil nama untuk orang yg telah hampir selesai magisternya?"
"Tapi kau sudah berlatih selama tiga bulan ini, 'kan?" kilahnya bercanda, lalu tertawa. Aku hanya mendengkus. Memang benar, kini kami sudah tiga bulan lebih berteman.
"Jadi, kenapa kau menelepon malam-malam, Kayden?" Kembali ke topik utama.
"Lusa jadwal sidang Tesisku. Sehari setelahnya, aku ingin kita bertemu."
"Hmm ... memangnya aku tak boleh menghadiri sidangmu? Mengapa kausuruh kita bertemu besok harinya saja?"
"Sidang tesisku tertutup, Kiya. Maka dari itu, aku ajak esok harinya saja kita bertemu. Siapa tahu kau ingin memberiku sesuatu, sebagai hadiah selesainya Tesisku." Kayden tertawa.
Pria ini memang begitu lugas dan jujur, walau kadang ragu-ragu dan tak tahu diri.
"Memang kau mau apa dariku?" Aku tertawa menanggapi. "Ah, iya! Aku baru saja menemukan ganci yang kau tanyakan saat hari pertama kita jumpa. Benar ingatanku, aku memang punya dua. Kalau itu kuberi untuk hadiah, apa terlalu sederhana, Kay?"
"Aku hanya mau, kau kosongkan harimu di hari kita akan bertemu. Aku ingin berbincang denganmu seharian penuh," jawab Kayden.
Oh! perutku seperti digelitik ribuan kupu-kupu. Pipiku menghangat, senyumanku merekah setelahnya.
"Kiya? Kenapa diam? Kau tak bisa?"
Sigap ku menjawab. "Tentu bisa! Ma-maaf aku cukup terkejut tadi."
"Kenapa terkejut?"
"Tak apa. Aku hanya tak pernah berbincang terlalu lama secara langsung, dengan laki-laki."
Gelak tawa Kayden terdengar kencang di pengeras suara teleponku. "Jangan banyak persiapan apa-apa, ya. Aku hanya mau kau datang layaknya dirimu, yang kukenal selama beberapa bulan ini."
"Kau kira aku akan mengenakan gaun untuk menemuimu?"
"Coba tanya pada dirimu sendiri, kurasa setelah ini hal itu yang akan tebersit dalam pikiranmu."
Menyebalkan, ia tertawa lagi. Tapi, tidak salah juga. Saat diam tadi, aku berpikir apakah aku harus menata rambut ke salon untuk hari itu?
"Ya sudah. Sampai bertemu tiga hari lagi, Kiya," tutupnya setelah puas tertawa.
"Selamat beristirahat, Kay!"
"Selamat tidur, Kiya!"
_***_
KAMU SEDANG MEMBACA
Lagu Kita
Short Story"Melangkahlah, kau takkan pernah tahu garis mana yang Tuhan takdirkan untuk bersambung." - Kaisan, 2017. Asyik ya, mencintai orang yang selera musiknya serupa. Apalagi suka pada musisi yang sama. Meski begitu, cinta bukan hanya sebatas miliki kesuka...