A Cup of Tea (5)

5K 42 2
                                    

                                                                          A Cup of Tea (5)

Rasa-rasanya, aku cemburu.

Sebatas yang kuketahui selama ini, cemburu cuma semacam perasaan kecewa dan sedih yang datang menghampiri ketika melihat orang yang kau sukai lebih memilih orang lain dibanding memilihmu. Kupikir perasaan itu sudah seringkali menjadi bagian dari hidupku, ketika tahu Fika memutuskanku hanya untuk menjalin hubungan dengan Johan. Kusangka aku sudah paham betul apa maksud sepotong kata itu, apalagi setelah menonton begitu banyak film di mana tokoh utamanya dilanda rasa cemburu ketika pasangan mereka tampak lebih mesra pada tokoh lain.

Namun baru belakangan ini aku sadar, kurasa aku tak pernah benar-benar memahami makna sesungguhnya dari sepatah kata yang kukira sederhana namun ternyata sangat kompleks itu.

Aku tak tahu sudah berapa hari aku merasa kacau. Kacau yang lebih kacau dari pada apa yang pernah kualami sebelumnya. Aku enggan makan. Enggan bergerak. Enggan bicara. Melakukan ini salah. Melakukan itupun salah. Duduk salah. Berdiri pun salah. Berjalan apalagi.

Berhari-hari aku mengisolasi diri di dalam kamar. Berusaha menghindari hal sekecil apapun yang menggangguku. Yang mampu membuat luapan magma dalam diriku meletus tak terkendali. Sementara seluruh dinding di otakku tak hentinya bergema, menuntut jawaban atas perasaan yang mengacaukan seisi benakku. Membuatku jadi ingin membenturkan kepalaku agar suara-suara itu berhenti. Sebentar saja.

Bukan aku tak mau menjelaskan padamu apa yang sedang kualami. Bukan. Masalahnya, aku sendiri tak tahu perasaan apa yang kini tengah menderaku. Ini lebih dari sekedar rasa kesal. Lebih dari sekedar emosi. Rasa ini bercampur aduk. Berbaur jadi satu dengan rasa perih yang aku tak tahu dari mana asalnya. Menyiksaku. Sampai aku bingung mau melakukan apa.

Coba katakan padaku. Siapa pun di antara kalian yang memahaminya, kuminta, atau kalau perlu kumohon, jelaskan padaku, apa sebenarnya yang kini sedang kualami? Terserang penyakit berbahayakah aku?

Mengapa aku merasa sesak ketika melihat dia pulang bersama laki-laki lain?

Mengapa aku merasa kesal sewaktu laki-laki itu berdiri begitu dekat dan menyebut namanya dengan mesra?

Mengapa tatkala tangan laki-laki itu merangkul dan menyampirkan jaket ke pundaknya, aku merasa jadi ingin mengamuk? Seakan-akan ada seseorang yang dengan sengaja menyiramkan seember air panas ke atas kepalaku hingga seluruh tubuhku melepuh kesakitan.

Tolong beritahu aku, termasuk cemburukah itu namanya? Atau aku sudah benar-benar sakit jiwa?

'***

Setelah turun dari mobil, aku berlari kecil menghindari tetesan hujan, berdiri di depan pintu rumah Fika, dan mengibas-ngibaskan pakaianku yang terpercik gerimis.

Aku tak pernah menyukai hujan. Aku tidak suka dengan aroma lembab yang ditimbulkannya, tanah becek yang mengotori mobilku, ataupun genangan air yang selalu menyulitkanku jika berjalan. Aku tak nyaman dengan warna angkasa kelabu yang bertahta di permukaan langit pagi yang seharusnya cerah. Juga tak suka dengan hujan yang turun di malam hari, membuat jarak pandang mataku jadi terbatas. Lebih-lebih lagi membenci kilatan-kilatan bunga api yang bermain di langit dan diselingi suara halilintar yang menyebalkan.

Tepatnya, aku takut dengan kilat. Aku takut mendengar suara halilintar yang seakan siap meledakkan gendang telingaku. Kau pasti langsung menudingku dengan sebutan pengecut. Tapi aku bukan pengecut. Hanya saja, semua suasana yang ditimbulkan sewaktu hujan, pada akhirnya selalu mengingatkanku pada malam itu.

Malam ketika Mama meninggalkanku. Padahal aku sudah menangis sampai meraung-raung. Memeluk erat kakinya supaya dia enggan melangkah keluar rumah. Tapi Mama tidak mempedulikanku saat itu. Sedikit pun.

A Cup of TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang