A Cup of Tea (6)

4.8K 36 0
                                    

                                                                         A Cup of Tea (6)

Sudah berjuta kali kukatakan. Padamu, padanya, dan pada diriku sendiri. Aku mencintainya. Sekalipun dia tidak mencintaiku.

Tapi aku akan pergi. Jika dia membuka mulutnya dan memintaku pergi. Maka aku harus pergi....

'***

Tatkala padangan mata kami bertabrakan, kilat itu seketika menyambarku. Membuat sekujur tubuhku menegang. Tuhan pasti sedang bercanda padaku. Dia pasti tidak sungguh-sungguh mengajakku bermain. Ini candaan yang tidak menyenangkan. Menyebalkan. Dan aku tidak akan suka bermain di dalamnya.

Aku benar-benar tak ingin percaya kalau Arvin-lah yang telah berhasil meluluhkan hati gadis kecilku. Tak mau percaya. Tak sudi percaya!

"Alexander Horizon? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dingin. Lebih dingin dari butiran hujan yang belum berhenti menitik.

Aku mengenal Arvin Vidicio. Dan kalau benar dia adalah perebut hati gadis lilinku, akan kurebut hati itu kembali. Bagaimanapun caranya.

"Mengantarkan gadisku pulang." sahutku cepat. Sebisa mungkin mencoba tenang. Padahal jantungku sudah berdegup tiga kali melebihi batas normal. Dan punggungku sudah dipenuhi keringat yang bulirnya lebih dingin dari butiran gerimis yang masih turun.

Mendengar jawabanku, sempat kulihat kening Arvin berkerut bingung sebelum akhirnya pandangannya beralih ke sampingku dan bertanya pada gadisku,

"Lo pulang sama dia, Vi?"

Kemudian mereka terlibat perdebatan kecil yang membuat sepasang alisku tertaut. Perdebatan yang ganjil menurutku. Karena aku sempat membaca kemarahan yang menggelegak dari sepasang mata Arvin yang bersinar tajam. Kemarahan yang lebih dari sekedar luapan emosi. Kemarahan yang terlalu berlebihan untuk hadir dalam hubungan yang cuma sekedar teman biasa.

Pikiranku melayang lagi pada percakapan antara aku dan gadisku beberapa saat yang lalu. Bukankah tadi dia mengatakan kalau Arvin menyukai saudara kembarnya sementara dia menyukai Arvin diam-diam? Mendengar hal itu, aku merasa laksana ada palu godam yang dipukulkan keras-keras ke kepalaku. Aku merasa kaget. Sakit hati. Sekaligus ingin marah.

Kaget karena gadis yang kutunggu sepuluh tahun lamanya telah menyerahkan hatinya pada laki-laki lain. Sakit hati karena tampaknya dia tidak akan membalas perasaanku sebesar aku mengharapkannya. Ingin marah karena laki-laki tak tahu diri yang disukainya itu bisa-bisanya menyia-nyiakan gadis sebaik ini dan memilih gadis lain. Biarpun yang dipilihnya mungkin adalah saudara kembarnya.

Tapi sekarang, tiba-tiba saja aku merasa takut. Takut luar biasa. Karena kubaca sesuatu yang lain terpancar dari sepasang mata elang di hadapanku. Sesuatu yang lain. Yang penuh rasa sakit. Sesuatu yang kurasa dapat kukategorikan sebagai semacam perasaan cemburu.

"Dia boleh pulang dengan siapapun. Laki-laki manapun." Suaranya yang tinggi terdengar melemah. Kepalanya yang tadi terangkat tinggi, kini tertunduk dalam. Membiarkan beberapa butir air hujan mengalir turun ke wajahnya. "Kecuali dengannya." Kemudian dia mendongak dan menatap ke arahku. “Siapapun. Kecuali dengan Alexander Horizon. Kakak gue.”

Lalu dia pergi. Cepat-cepat melangkah masuk ke dalam mobilnya dan berlalu begitu saja.

Aku menelan ludah. Merasakan ada hawa-hawa tak enak yang makin pekat terasa. Anak menyebalkan. Bagaimana mungkin dia tega meninggalkanku sendirian setelah dia membocorkan identitas kami?

"Arvin – adikmu?" tanya gadisku.

"Kamu – kakaknya?" Yang ini pertanyaan kembaran gadisku.

Kurasa anak kembar memang memiliki semacam telepati dalam otak atau perasaan mereka. Sehingga mereka bisa bersamaan mengajukan pertanyaan serupa yang menuntut jawaban yang sama pula. Aku memang selalu takjub dengan anak-anak kembar. Aku takjub pada keagungan Tuhan yang menciptakan orang-orang yang terlahir dengan perawakan yang nyaris sama persis dan seringkali diikat dengan semacam kemampuan naluri yang kuat satu sama lain. Itu sangat keren menurutku. Meskipun aku tak pernah tahu kenyataannya. Maksudku, semua pengetahuanku tentang anak kembar itu hanya sebatas yang pernah kulihat di televisi atau di buku-buku, karena tentu saja aku tak pernah sungguh-sungguh merasakan menjadi anak kembar. Membayangkan ada seorang yang mirip denganku dan bisa membaca isi otakku rasanya tidak akan membuatku tenang.

A Cup of TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang