A Cup of Tea (7)

4.6K 36 2
                                    

                                                                  A Cup of Tea (7)

Gadis itu menggerakkan tubuhnya. Berdiri sempoyongan. Sebuah pensil jatuh dari mejanya. Diambilnya dengan salah tingkah dan mulai melangkah maju. Ke depan kelas. Ke samping bayangan menyebalkan itu dan berdiri tepat di kirinya.

"Nama saya – Vivi Calamanda." Kudengar dia mulai memperkenalkan dirinya dengan gugup. "Saya...."

Tapi aku sudah tak sempat lagi memperhatikan Vivi. Tak tahu lagi kata-kata apa yang meluncur keluar dari bibirnya. Pandanganku benar-benar terfokus pada laki-laki itu. Laki-laki yang sedang menatapnya dengan penuh cinta. Seakan-akan dia baru saja menemukan tumpukan emas di wajah gadis itu.

Wajah gadis yang sialnya adalah Vivi.

Ah, sial. Sial. Sial.

Mengapa menyadari kalau ada laki-laki lain yang menatap Vivi dengan cara seperti itu membuatku gelisah seperti cacing yang tertabur abu?

"Vivi Calamanda." Dia bergumam pelan. Gumaman yang mesra di telingaku. Sementara matanya belum lepas dari wajah Vivi. "Nama yang indah."

Mendengar dia menyebut nama Vivi selembut itu, tanpa sadar aku membulatkan kedua mataku dan memelototinya. Lalu dia melirikku dan tersenyum. Senyum yang penuh ejekan. Yang membuat bom waktu di dadaku meledak.

Aku bangkit dari kursiku. Maju ke depan kelas dan berdiri di tengah-tengah mereka. Menghalangi mata Lexa yang menatap Vivi tanpa jeda. Membuatku jadi curiga apa yang sedang direncanakannya dalam otaknya yang mungkin sama sintingnya dengan otakku.

"Giliran saya." tukasku tanpa diminta. Cuek saja sewaktu seisi kelas menatapku dengan tanda tanya yang melayang-layang di atas kepala mereka. "Giliran saya yang memperkenalkan diri."

Lexa menatapku sejenak. Tampak terkejut selama beberapa detik pertama. Lalu pada detik berikutnya dia tersenyum lagi.

"Silahkan." ucapnya. Penuh penekanan. Membuat tengkukku meremang untuk yang kesekian kalinya.

'***

Aku anti dengan segala bentuk tindakan konyol. Kekonyolan dalam arti apapun. Kekonyolan yang membuat kadar otakku yang sudah pas-pasan ini malah makin menurun.

Tindakan yang Lexa lakukan misalnya. Melamar menjadi guru pengganti di sekolahku hanya agar dia bisa tetap berada dekat dengan Vivi, menurutku adalah suatu bentuk kekonyolan. Yang tak mungkin akan kulakukan, kalau aku jadi dia.

Tapi sekali lagi. Aku sendiri tak mengerti. Beberapa hari belakangan ini, aku merasa otakku jadi lumpuh. Aku tak bisa berpikir jernih. Aku tak berkonsentrasi melakukan apapun. Mataku selalu berputar dengan sendirinya hanya untuk mengamati Vivi. Melihatnya sedang memperhatikan pelajaran. Melihatnya sedang curi-curi menguap. Melihatnya tiba-tiba menoleh ke belakang dan menatapku lurus-lurus karena mungkin dia merasa risih karena selalu diperhatikan. Membuatku langsung pura-pura melihat ke papan tulis dan berdeham cukup keras setiap kalinya.

Lalu ketika dia mengembalikan posisinya lagi menghadap ke depan kelas, aku dengan curangnya kembali mencuri pandang padanya.

Apa itu juga termasuk salah satu bentuk kekonyolan?

Aku tak tahu. Yang aku tahu, setiap pelajaran matematika akan dimulai dan sebelum Lexa memasuki kelas, tingkahku bertambah aneh. Aku maju ke depan, meminta Rara, teman sekelasku yang duduk di samping Vivi, bertukar tempat sementara waktu denganku. Khusus hanya pelajaran matematika saja. Dia sempat menolak. Beralasan bahwa dia tidak terlalu kelihatan jelas tulisan yang ada di papan tulis jika tempat duduknya mundur dua baris ke belakang. Tapi begitu kuiming-imingi akan menraktir makan siangnya selama sebulan penuh, dia langsung mengangguk setuju. Tanpa pikir panjang.

A Cup of TeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang