𝙲𝚑𝚊𝚙𝚝𝚎𝚛 𝟷

86 22 78
                                    

"Maaf

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maaf."

Satu kata itu tidak pernah absen sehari pun dari kehidupan Thera Dehalten. Baik ketika berhadapan dengan keluarganya sendiri, atau bahkan pelayan. Statusnya sebagai putri bungsu Marquess sama sekali tidak memiliki kekuatan.

Mudahnya, keberadaannya merupakan suatu kesalahan.

Areas juga berpikiran sama. Pria—yang sangat keberatan dipanggil kakak oleh Thera—itu, masih menatap dengan tidak suka. Sepenuhnya tidak merasa bersalah setelah mendorong dengan sengaja.

"Tsk ... menghalangi jalan saja. Benar-benar tidak berguna," ucapnya lantas pergi tanpa simpati. Persetan andaikan sang adik mati karena infeksi, ia sama sekali tidak akan peduli.

Memang keji. Namun, kalau sudah terlalu benci, wajar jika sikapnya begini. Bahkan dalam mimpi, Areas menolak untuk berbaik hati.

Begitu suara langkah kaki Areas tidak lagi terdengar, Thera akhirnya mengangkat kepala. Perlahan, ia bangkit dari duduk dan sedikit lega. Sejauh ini ia sudah terbiasa. Hanya sedikit luka, bukan sesuatu yang akan membuatnya berduka. Mungkin yang sulit hanya lupa. Entah berapa kali ia sudah mencoba, rasa sakitnya masih akan terasa—meski secara fisik sudah tertutup sempurna. Salah satu jalan yang dia tahu hanya menerima.

Katanya, ia hanya perlu bersabar lebih lama.

Katanya, semua akan indah pada waktunya.

Katanya ... nanti ia akan bahagia.

Thera baru mengingat tiga kalimat itu dan bertemu dengan tatapan Adrian, sang kakak pertama. Masih tidak berbeda, masih sarat akan hina. Itu sangat jelas hingga lorong berjarak lima meter tidak menjadi penghalang. Berbeda dengan sang ayah yang sebatas menganggapnya sebagai barang atau Areas yang selalu berharap ia menghilang, pria itu selalu memindainya seakan jalang.

Bedebah, bajingan sampah ... masih banyak sumpah serapah lain untuk menggambarkan kebusukan Adrian.

Sayangnya, Thera tahu jika tidak seorang pun akan percaya—bukti di depan mata hanya akan sia-sia. Itu realita. Percobaan gagal lima tahun lalu sudah dianggap tidak ada. Saksi memilih berpura-pura buta. Tanpa kuasa dan harta, kata-katanya tidak memiliki harga.

Waktu itu, yang bisa Thera harapkan hanya dua. Jangan pernah mencapai usia dewasa, atau Adrian tidak menjadi kepala keluarga selamanya.

Lalu malam ini ... kedua harapannya dibunuh bersama.

* * *

"Tanganmu terluka."

Thera tidak mengatakan apa-apa ketika mendapati Adrian muncul tiba-tiba dan duduk di sofa. Bukan hal baru jika pria itu tidak mengetuk pintu terlebih dahulu dan sesuka hati memasuki kamarnya. Lagipula, ia tidak pernah diizinkan memiliki rahasia. Semua harus diketahui oleh Adrian dengan alasan tanggung jawab sebagai saudara tertua.

Omong kosong belaka. Akan tetapi, Thera belum bisa melawannya. Jadi pilihannya saat ini hanya patuh ketika diisyaratkan untuk mendekat. Membiarkan tangan putihnya terekspos dan ditatap lamat-lamat.

Ibu jari Adrian mengusap garis melintang di lengan Thera yang masih memerah. Baginya, itu indah. Seperti abstrak sederhana di kanvas putih.

Namun, masih kurang.
Terlalu banyak ruang kosong.

Adrian memikirkan hal ini lalu menekan dengan kuku pada permukaan luka yang belum kering. Tetes darah terbentuk dari celah yang kembali dibuka paksa, membuat sang pemilik tangan merinding.

"Sakit?"

Atas pertanyaan retoris barusan, Thera mengangguk pelan. Baru kemudian Adrian mengurangi tenaga dan mulai membelai bagian dalam lengan. Untungnya, sebatas pemeriksaan singkat sebelum dilepaskan dengan keberatan. Panggilan ringan dari salah seorang pelayan seperti penyelamat Thera dari ketidaknyamanan.

Tidak mungkin ia melewatkan kesempatan ini, maka ia mengingatkan. "Kakak, sudah waktunya. Semua orang sudah menunggu."

Adrian terdiam sejenak setelah diusir secara tidak langsung. Tangannya kemudian terulur untuk menyisir rambut putih perak milik Thera sebelum berujar penuh makna. "Sudah waktunya." Setelah itu, ia undur diri tanpa mengucap sampai jumpa.

Tadi itu hanya tindakan dan ucapan sederhana, tapi sarat akan bahaya. Pertanda jika ia sebentar lagi menjadi mangsa.

Thera berusaha untuk tidak tertawa. Bagaimanapun, banyak mata dan telinga di sekitarnya. Ia harus berekspresi sama seperti semula agar tidak mengundang curiga.

Untuk saat ini, hanya dia dan orang itu yang boleh tahu apa yang akan terjadi di pesta nanti.

𝐋𝐚𝐝𝐲 𝐓𝐡𝐞𝐫𝐚 : 𝙸 𝙷𝚊𝚟𝚎 𝙰𝚗 𝙰𝚏𝚏𝚊𝚒𝚛 𝚆𝚒𝚝𝚑 𝙼𝚢𝚜𝚎𝚕𝚏Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang