Pria itu sibuk bercanda dengan mimpi di pagi hari. Berkemul selimut dan posesif terhadap guling di pelukan. Sorot sinar mentari menembus masuk melalui celah jendela, tepat mecium wajah pemuda berhidung mancung dengan rahang kokoh serta mata sipit oriental beralis tebal. Seketika rasa tak nyaman melanda. Jam beker berbunyi nyaring untuk ke sekian kali, alarm disetel untuk pukul lima namun hingga tiga jam kemudian tidak ada yang menghiraukan lengkingan jam beker tersebut. Hingga suara gedoran pintu yang digedor secara tak sabaran dan memekakan telinga dalam ruangan yang hanya berkisar 5x6 meter ini membuat pria itu menggeliat, kelopak mata bergerak perlahan akibat sorotan cahaya mentari yang mulai meninggi.
Gedoran itu masih berlangsung disusul teriakan seorang wanita. "Ham, bangun, itu kawan kau sudah menunggu dari tadi, untung tidak tumbuh lumut di tubuhnya saking lamanya menunggu kau, bangun bujang lapuk, hei!" Ibu Desti berceloteh ria, Desti adalah ibu kos kesayangan Ilham. Sudah dianggap seperti ibu sendiri, ia selalu memberi wejangan, bila bayaran kos menunggak tidak masalah, sebaliknya ibu Desti pun sudah mengangap Ilham seperti keponakannya, saking sayangnya terhadap Ilham sampai ingin dinikahkan oleh anak perempuan satu-satunya yang menjadi janda setahun lalu.
Dengan langkah gontai Ilham membuka pintu, ia menghampiri seseorang yang sedang asyik dengan handphone duduk di dipan, teras indekos. "Ngapain lo pagi-pagi ke sini," ujar Ilham sambil mengusap wajahnya membersihkan area mata yang penuh dengan belek.
Seseorang itu adalah Fikri teman satu kantor dengan tugas sebagai editor. "Lo tanya gue ngapain di sini? tahu begitu, gue enggak bakal mau nebengin lo," sahut Fikri sedikit kesal
"Astagfirullah, sorry gue baru inget hehe, ya sudah ngopi dulu yuk, masih lama gini kita meeting jam delapan kan?" Ilham dengan santai duduk di sebelah Fikri, tanpa melihat jam yang sudah menunjukan angka yang ia sebutkan tadi.
"Gigi lo ngopi, sekarang udah jam delapan bangsul, nih lo liat dari tadi si setan satu ini menelepon gue terus nanyain lo," ujar Fikri sambil menyodorkan hpnya kepada Ilham, dan benar saja, telpon masuk dari kontak bernama Intan(setan) yang tak lain adalah sekretaris bos mereka terlihat di layar handphone Fikri.
"Wah, parah lo Fik, gue laporin ke Intan tau rasa lo," ujar Ilham dengan kekehan kecil.
"Enggak penting, sekarang lo buruan sana siap-siap lima belas menit enggak kelar, gue tinggal," ancam Fikri sambil mengetik chat balasan untuk Intan membuat alasan yang masuk akal agar mereka tidak mendapat siraman rohani dari bos mereka.
"Siap Ndan, hahaha," sahut Ilham dengan tawa lalu kembali menuju kamar kosnya untuk mempersiapkan diri untuk meeting projek mereka.
***
Jerry Ilham Mahendra, pemuda berdarah Lampung, dengan kulit putih dan mata sipit khas orang Lampung, rahang yang kokoh serta hidung mancung menambah kharisma dalam diri Ilham. Namun masalah percintaan bagitu suram, di umur yang hampir menginjak kepala tiga ia masih saja melajang, hingga setiap hari raya sanak saudara melontarkan pertanyaan yang sama yakni 'kapan nikah?'. Pertanyaan yang sulit dijawab, yang hanya ditanggapi dengan senyuman lalu melipir ke dapur dengan alasan ada hal yang ingin dikerjakan.
Ilham dan Fikri kini sudah berada di pelataran parkir sebuah gedung bernuansa jingga, dengan plang besar bertuliskan Labasa Pers dengan gagah di atas sana. Ya, mereka bekerja di salah satu media informasi yang berkecimpung dengan budaya. Salah satu media ternama di Lampung, yang bertempat di kota Bandar Lampung. Mereka kemudian melesat menuju lobi untuk absen digital lalu bergegas ke lift yang akan membawa mereka ke lantai paling atas menuju ruangan meeting tersebut.
"Permisi," ujar Fikri sambil mengetuk pintu kaca pada ruangan meeting itu.
"Silakan masuk," sahut suara bariton yang terkesan berwibawa dengan suara tersebut.
Fikri diikuti Ilham di belakangnya memasuki ruangan meeting, semua mata yang ada di sana menatap mereka terutama orang yang mempersilakan mereka untuk masuk. Siapa lagi kalau bukan Pak Wahyu bos besar mereka, mata pak Wahyu bak mata pedang yang siap menghunus mereka begitu tajam seolah menelanjangi mereka berdua.
"Kenapa kalian terlambat?" tanya pak Wahyu dengan tangan bersedekap diatas perut buncitnya.
"Ban bocor Pak."
"Abis bensin Pak."
Mereka menjawab bersamaan namun dengan alasan yang berbeda membuat Fikri kesal dengan Ilham ia lupa memberitahu alasan buatan dirinya jika ditanyakan hal seperti ini. Dengan geram Fikri menginjak kaki Ilham membuat si empunya meringis kesakitan.
"Mau bohong kok enggak kompak. Ya sudah, sana cepat duduk sebelum saya berubah pikiran, silakan dilanjutkan kembali Intan," ujar Pak Wahyu.
Dewi fortuna berpihak kepada mereka berdua, ekspektasi mereka akan habis-habisan diceramahi tidak terwujud, entah ada angin apa, pak Wahyu tidak seperti biasanya.
Intan kembali memaparkan projek yang akan mereka garap, semua orang menyimak dengan saksama penjelasan Intan, semua begitu semangat projek kali ini sepertinya begitu menarik karena berbeda dari projek-projek sebelumnya.
"Baiklah selanjutnya saya akan membagi partner jurnalis untuk meliput, yang pertama bidang festival budaya Ilham dan Revita, bidang kuliner Ardi dan Sofie, bidang pesona alam Restu dan Ajeng. Untuk akomodasi dan transport biaya akan ditanggung perusahaan, jadi kalian harus memberikan hasil yang terbaik. Semangat dan sukses untuk projek baru kita."
Revita yang berada di seberang Ilham merasa senang, senyumnya merekah. Sudah lama momen ini ia inginkan. Bisa berpartner dengan Ilham adalah mimpinya, pria yang ia kagumi semenjak bekerja di Labasa Pers. Terima kasih pak Wahyu dan Intan, aku cinta kalian! teriaknya dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labuhan Hati
RomanceSeutas kisah pelayaran asmara sang pujangga, berkelana menyisiri samudra cinta yang membahana. Akankah sampai dan bersandar? Berlabuh pada hati mana kah akhirnya? Karena sejatinya pelayaran itu akan berakhir pada Labuhan Hati...