Sore ini tidak begitu cerah. Mendung kelabu senantiasa menggantung di cakrawala mengeser jingga yang seharusnya bertahta. Seperti suasana hati seorang pria baruh baya bernama Kelana Panji Nugraha atau yang biasa dipanggil Panji. Setelah pagi tadi ia menemukan Ale, putra sulung kesayangannya, tergeletak tak sadarkan diri di dekat pintu kamar mandi kamarnya yang kemudian segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan.
Saat ini, di ruang serba putih dengan bau khas obat-obatan itu Panji sedang mendengarkan baik-baik penjelasan dari seorang dokter tentang kondisi Ale. Sesekali ia membenarkan letak kacamata minusnya sambil mengamati hasil pemeriksaan Ale.
Panji menolak untuk percaya. Putra kesayangannya divonis menderita gagal ginjal akut diusianya yang masih muda. Ale diharuskan terus menjalani cuci darah untuk membantu kerja ginjalnya sampai ia mendapatkan donor ginjal yang sesuai.
Hal ini adalah pukulan bagi Panji. Si Sulung yang ia gadang-gadang akan mewarisi perusahaannya harus menderita penyakit mengerikan yang mengancam usianya. Sungguh, tak pernah sekali pun Panji akan mengalami ini dikehidupannya. Ia tak sanggup bila harus kehilangan anggota keluarganya lagi paska kepergian Kirana, istri tercintanya, 18 tahun lalu setelah melahirkan putra bungsunya.
Sementara itu, di salah satu kamar rawat di rumah sakit itu, nampak dua orang pemuda. Salah satu diantaranya sedang terbaring lemah di atas ranjang dengan selang infus tertancap di lengannya.
"Kak Ale jangan sakit dong! Aku kan sedih kalau kakak kayak gini." ucap pemuda yang sedari tadi setia duduk dikursi dekat ranjang itu sambil terus menggenggam tangan sang kakak.
"Maaf ya, Dante. Kamu jadi khawatir gini." ucap Ale pada adiknya sambil tersenyum.
"Lagian kakak kalau sakit tuh bilang, jangan disimpen sendiri!" protes Dante yang masih saja cemas akan kondisi kakaknya. Mendengar itu Ale semakin mengembangkan senyumnya. Ia paham bahwa adiknya ini sangat menyayanginya.
"Kakak gak apa-apa kok. Pasti cuma kecapekan aja." ujar Ale menenangkan.
Panji yang mendengar interaksi kedua putranya dari balik pintu kamar perawatan Ale hanya bisa menghela nafas untuk menghalau rasa sesak di dadanya. Ia harus kuat maka dengan begitu ia bisa menguatkan Ale. Ia memantapkan hati untuk memasuki kamar rawat Ale sambil mengerjap untuk menyamarkan air mata yang terbendung di kelopak matanya.
*#*#*#*#*#*#*
Dua hari berselang, Ale diperbolehkan pulang. Saat ini Panji dan Dante sedang duduk di sofa ruang keluarga, sementara Ale berada dikamarnya untuk beristirahat. Mereka sama-sama tenggelam dalam kesedihan akibat vonis dokter untuk Ale.
"Apapun akan Papa lakukan untuk kesembuhan Ale. Hanya dia harapan Papa."ujar Panji tanpa mengubah pandangan kosong pada meja dihadapannya.
Dante memahami betul harapan Panji akan kesembuhan Ale karena hal itu juga yang menjadi doanya. Tapi kalimat terakhir Panji telah menyulut emosi Dante sehingga tanpa sadar ia bertanya,"Maksud Papa 'hanya Kak Ale harapan Papa' itu apa?".
Pertanyaan itu sontak membuat Panji memfokuskan pandangan remehnya pada Dante,
"Sudah jelas bukan. Kamu bisa lihat sendiri. Ale itu lebih baik daripada kamu. Jauh lebih pantas untuk mewarisi perusahaan Papa daripada kamu. Dia lebih pintar dan dapat diandalkan. Tidak seperti kamu. Berkacalah dan lihat! Apa yang bisa Papa harapkan dari anak sepertimu? Kamu hanya bisa kluyuran gak jelas. Nongkrong dikafe sampai malem. Nilai sekolah juga pas-pasan."
Dante yang merasa tidak terima dengan ucapan papanya pun berdiri dan memberikan pembelaan,
"Dante memang tidak begitu mahir di akademik, Pa. Tapi untuk non-akademik Dante selalu unggul. Papa juga tahu kalo Dante bukan sembarangan nongkrong. Kafe itu usaha Dante, Pa. Ya meskipun hasil kerja sama dengan teman-teman Dante dan bantuan modal dari Kak Ale. Dante bisa menghasilkan rupiah juga, Pa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Respect
Teen FictionAku hanya ingin hidupku berguna, seperti mama yang telah kehilangan nyawanya agar aku bisa hidup. -Dante