Rev 8

3.6K 142 8
                                    

  Aku menghambur masuk ke swalayan dengan keringat yang mengucur dari pelipisku. Aku tahu ada yang aneh disini semenjak barang-barang milikku yang kutinggalkan di Nova Scotia bermunculan satu-persatu entah dari mana. Kucari sosok Nando di balik puluhan etalase.

"Nan!".

"Ya ampun, Rev! Kaget gue! Kenapa pake teriak segala, sih?". Nando senewen. Ku atur napasku pelan.

"Lho, kok? Rambut lo.. Jadi warna orens lagi?". Ia melirik rambutku kemudian menatapku dengan tatapan apa-lo-mau-balik-ke-diri-lo-yang-dulu.

"Nanti aja gue jelasin. Sekarang lo jelasin dulu kenapa diari pink gue bisa ada sama Lesya. Kata dia kemaren, lo yang nitip ke dia. Nah, sekarang gue tanya, lo dapet dari mana?".

Nando terhenyak. Ia tak langsung menjawab. Nando malah menggigit bibir bawahnya. Kebiasaannya jika gugup. Aku sudah tahu ini akan terjadi. Kutarik paksa tangan Nando dan pergi ke ruang karyawan.

"Nan, jujur, deh, sama gue". Kataku ketika Nando duduk tepat di sampingku.

"Tapi lo janji jangan marah sama gue? Jangan musuhin gue juga".

"Ya ampun, Nan! Kita bukan anak kecil lagi, kali. Ya udah, cepetan bilang". Aku gemas.

"Kemarin orang itu datang ke swalayan pas lo udah balik".

DEG! Benar saja dugaanku. Darahku seakan terhenti. Kenapa harus Nando?

"Dia bilang ke gue pengen ketemu sama lo, tapi gue bilang lo lagi sakit. Jadi dia nitip buku diari itu ke gue. Dia juga bilang kalau dia pengen lo bahagia sekarang". Nando menatapku dalam yang tengah mencerna setiap katanya.

Lidahku rasanya kelu. Kutuang segelas air dari teko ke gelas kaca berukuran sedang lantas meminumnya dengan cepat. Aku tak percaya ia berani sampai sejauh ini. Bahkan menggunakan Nando untuk memancingku.

"Emang dia siapa, sih, Rev? Dia selalu datang ke tempat kita. Kadang ngasih lo uang di amplop. Nggak pernah absen juga kemari". Nando masih menatapku lekat. Aku kembali duduk di sampingnya dengan wajah masam tak tahu ingin bilang apa.

"Atau jangan-jangan.. Dia..".

"Bokap gue".

            Nando terbelalak kaget. Ia bahkan menjauhiku beberapa senti. Aku tak ingin menjelaskan apa-apa. Aku tak ingin menggali masa lalu kelam yang sudah lama kukubur. Aku bahkan tak menyangka Ayah akan melangkah sampai sejauh ini. Sudah cukup kedatangannya setiap akhir bulan ke swalayan, amplop berisi uang serta kartu nama. Sekarang Ayah malah menggangguku dengan paket berisi barang masa kecilku.

"Gue baru sadar sekarang, Rev. Gue emang nggak pernah lihat muka Bokap lu langsung. Tapi kalau di ingat-ingat, orang itu emang punya beberapa kemiripan sama lo. Mata lo. Mata lo yang dalem dan biru gelap. Dia juga punya mata itu".

Aku semakin gelagapan. Tak tahu harus berbuat apa.


            Hari ini aku resmi berhenti bekerja di swalayan. Sedih rasanya meninggalkan tempat itu setelah empat tahun aku bekerja disana. Terutama Rena yang sudah ku anggap sebagai adikku sendiri. Ia bahkan menangis saat aku berpamitan dengannya. Aku janji untuk terus menghubunginya meski aku kembali ke kehidupan awalku.

Dan disinilah aku, berdiri di depan salah satu perusahaan iklan ternama di Bandung. Tak ada lagi Rev dengan senyum manis menyapa pelanggan. Disini, aku Revinna Atalia Kassandra Adrino dengan jabatan General Manager sekaligus pemegang perusahaan.

            Aku ingat saat itu. Ketika usiaku beranjak 17 tahun, Mama membawaku kemari, ke tempatnya bekerja. Beliau adalah Pimpinan Perusahaan yang sangat di segani. Mama pula yang mendirikan perusahaan ini dari nol hingga berkembang sebesar ini. Hingga aku yang naik ke jabatannya. Satu alasan yang pasti ketika aku dan Mama hengkang dari perusahaan yaitu ingin merasakan hidup dalam kesederhaan. Ya, memang rencana itu ter-setting­ untuk masa lima tahun. Toh, siapa yang tahu, kini aku berdiri kembali di sini hanya dalam kurun waktu empat setengah tahun.

Jika Aku LesbianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang