Rev 18

1K 48 0
                                    


Ada jeda yang cukup panjang saat kami tiba di kantin kantor. Meski kelihatannya Lesya senang bertemu denganku, tapi sekarang ia malah memasang wajah kok-aku-mengajaknya-makan-siang-sih.

"Sya.." Gumamku hampir tidak terdengar.

Ia menoleh cepat. Kutelan ludahku sendiri.

"Nggak makan?"

Lesya berkedip beberapa kali. Ia menyentuh kotak makan siangnya sembari melontarkan senyum.

"Ini baru mau makan. Kakak juga makan, gih" Lesya membuka kotak nasinya dan menukarnya dengan kotak nasiku yang belum terbuka. Aku tertegun.

Ia mulai mengunyah dengan lembutnya. Setiap gerakan tubuhnya begitu luwes dan begitu anggun. Benar-benar feminin, pikirku. Kok bisa-bisanya aku tega melukai hatinya saat itu. Ah. Tak sengaja aku mengerang kecil sambil menjambak rambutku.

"Kenapa, Kak? Masakanku nggak enak, ya?"

Aku menggeleng cepat. "Enak, kok! Masa nggak enak, sih?" Aku terkekeh.

Ia membalasku dengan senyum simpul kemudian kembali menghabiskan makanannya.

"Kak, aku mau ngambil minum dulu. Kakak mau apa? Air? Jus?"

"Aku jus jeruk aja, Sya" Kataku.

Sedetik kemudian Lesya sudah beranjak ke konter minuman. Kuperhatikan punggungnya yang berlalu pelan. Aku tahu masa-masa indah kami sudah usai, tapi entah mengapa kecanggungan yang terjadi hari ini membuatku kembali bernostalgia. Ah, kupikir aku sudah berada di jalan yang benar. Seharusnya begitu, 'kan?

Jari-jari mungil nan mulus meletakkan segelas jus jeruk tepat di hadapanku. Tak perlu berpikir lama, aku sudah tahu jari itu milik Lesya. Jari yang sempat kugenggam dengan erat seakan takut untuk meninggalkanku. Dan faktanya, aku yang meninggalkannya.

"Ini, Kak, minumnya" Ujarnya, kemudian kembali melanjutkan makannya yang tertunda.

"Oh ya, Kak Rev.."

Aku menoleh. Lesya menatapku tepat di bola mata.

Tak pernah berubah. Masih Lesya yang berani, batinku.

"Gimana Kakak sama Kak Nando? Baik-baik aja, 'kan?"

Entah mengapa kepalaku serasa dihantam oleh palu super besar. Kemudian ditusuk oleh pisau tajam dari perut menembus punggung. Berlebihan memang, tapi rasa-rasanya pertanyaan Lesya menohokku dengan tepat.

"Kami? Ba-baik. Tentu aja baik" Aku menjawab sekenanya. Lesya masih menatapku seakan kurang puas dengan jawaban yang ia terima.

"Nando masih kerja di swalayan. Aku kerja di kantor. Kami ketemu setiap weekend" Tambahku.

Ia kemudian mengangguk kecil beberapa kali. Lalu kembali mengangkat sendok dan garpunya.

"Kamu sendiri.. Gimana? Kuliahnya lancar?" Tanyaku hati-hati.

"Lancar kok, Kak. Aku malah aktif banget di organisasi kemahasiswaan"

Jeda itu kembali merayap diam-diam. Sesekali kulirik Lesya yang tak kalah canggungnya dariku. Kupikir ia mengajakku makan siang karena ia sudah kembali menjadi Lesya yang kukenal. Selalu percaya diri dan blak-blakkan. Tapi toh, tak ada yang tahu bahwa luka yang pernah kutorehkan padanya masih tertanam jelas dalam benaknya.

Aku masih sibuk membatin saat handphoneku berdering keras. Lesya menatapku dan memberi isyarat untuk mengangkat telepon. Nando's Calling.

Aku menghela napas pelan.

Jika Aku LesbianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang