Keesokan harinya Aluna sarapan bersama dengan Om Yahya dan Tante Poppi. Ketika Aluna bertanya di mana yang lain, Tante Poppi menjawab kalau Dikta sudah berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali, sementara Yasa sepertinya masih tidur karena anak itu sering bangun kesiangan.
Aluna hanya mengangguk, berpura-pura baru tahu, karena pasalnya Aluna tidak mungkin mengatakan kalau semalam dia melihat Yasa pergi entah ke mana. Kalau Yasa pulang pagi, Aluna tidak akan heran anak itu bangun kesiangan. Yang menjadi pertanyaan adalah ke mana Yasa pergi tengah malam seperti itu? Apa jangan-jangan dia pergi dugem—makanya harus mengendap-endap seperti itu?
"Lun, Om mau bicara sesuatu sama kamu."
Ucapan Om Yahya membuyarkan pikiran Aluna seketika.
"Tapi, sebelumnya Om mau minta maaf kalau permintaan Om ini jadi ngerepotin kamu."
Aluna tersenyum dan menjawab, "Nggak, dong, Om. Memangnya Om mau minta tolong apa sama Aluna?"
"Soal Yasa. Nanti kalau kalian berdua berangkat bareng ke tempat bimbel, Om minta tolong sama Aluna untuk awasi Yasa, ya? Tolong pastiin dia benar-benar ikut bimbel dan jangan sampai dia bolos kelas."
Kedua mata Aluna seketika mengerjap. Ia tidak menyangka kalau Om Yahya akan meminta permintaan seperti itu kepadanya.
"Maaf kalau misalnya pertanyaan Aluna agak lancang Om, tapi kenapa Yasa harus diawasi, ya, Om?"
"Sebenarnya Om agak malu sih ceritain ini ke kamu, tapi ... Yasa itu anaknya agak susah diatur, Lun. Ini udah ketiga kalinya Om pindahin dia ke tempat bimbel baru, karena dia sering banget bolos di tempat bimbel sebelumnya. Om cuma pengin dia bisa fokus sama pendidikannya, karena tahun ini jadi kesempatan terakhir dia untuk bisa ikut SBMPTN."
Aluna hampir tidak ingat kalau umur Yasa dua tahun lebih tua darinya. Sementara batas untuk bisa mengikuti SBMPTN adalah tiga tahun setelah lulus sekolah. Pantas saja Om Yahya terlihat sangat khawatir, karena seharusnya Yasa sudah kuliah dan berada di semester lima.
"Mmm ... sebenarnya Aluna nggak bisa janji apa Aluna bisa cegah Yasa buat nggak bolos lagi, tapi Aluna akan coba bantu Om sebisa Aluna buat awasi Yasa suapaya dia nggak bolos."
"Serius, Lun? Kamu, nggak apa-apa?"
Aluna mengangguk sambil tersenyum.
"Alhamdulillah. Maaf ya Lun karena Om jadi ngerepotin kamu. Tapi Om berterima kasih banget sama kamu karena bersedia—"
"Nggak perlu nyusahin orang lain buat sekadar ngawasi aku." Suara seseorang menarik perhatian semua orang di meja makan.
Yasa sudah berdiri tepat di sebelah Aluna. Laki-laki itu mengenakan kemeja hitam motif bunga yang di masukkan ke dalam celana jin panjang berwarna abu. Yasa juga memakai sebuah kalung rantai dan menyelipkan sebuah kacamata hitam di antara kancing kemeja yang terbuka. Yang membuat Aluna salah fokus adalah ia mencium aroma jasmine tea kesukaannya bersamaan dengan kehadiran Yasa.
"Bukan begitu, Yas. Maksud Papa minta Aluna awasi kamu supaya dia bisa—"
"Lo mau bareng, gue?" tanya Yasa kepada Aluna, mengabaikan ucapan Om Yahya begitu saja. "Kalau iya, kita jalan sekarang."
Lantas kedua mata Aluna membelalak. "Loh, memangnya kamu nggak sarapan dulu? Ini 'kan masih jam setengah tujuh, Yas. Kita masuknya jam delapan kok."
"Ya udah gue jalan sendiri." Yasa memutar tubuh dan pergi begitu saja meninggalkan ruang makan.
Keadaan menjadi agak membingungkan untuk Aluna. Dia belum memakan sarapannya, tetapi Yasa sudah ingin pergi sepagi ini ke tempat bimbel.
"Lun, Om minta maaf, ya. Kayaknya kamu nggak perlu awasi Yasa, deh. Om jadi nggak—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senior 2: Bagaimana Jika
Ficção AdolescenteDi hari kelulusannya, Aluna harus menerima kenyataan pahit jika hubungan jarak jauh yang ia jalani selama tiga tahun bersama Nakula harus berakhir tanpa alasan. Nakula tiba-tiba menghilang, dan hal itu membuat Aluna merasa sedih. Senior2: Bagaimana...