Waktu yang tepat memang banyak, tapi Alvin selalu menolak dengan alasan "enggak perlu", atau "itu cuma omong kosong", atau "selama kita berdoa yang sungguh-sungguh, hantu mana ada yang mau dekat-dekat". Namun, Ashvin pantang menyerah.
"Berdoa yang bener, tapi salat masih aja bolong!" tuding Ashvin suatu ketika saat mereka "kebetulan" makan malam di meja makan bersama.
Alvin yang tidak terima membela diri. "Ya, urang kan masih usaha biar lebih rajin," timpalnya dengan pipi merah.
"Lagi pula ini kan, bentuk ikhtiar, Al. Sesudah itu berdoa yang sungguh-sungguh!"
Alvin hanya mendengkus sebagai respons. Dia terus menyendok nasi dan telur dadar ke mulut, mengunyahnya cepat. Memangnya dia tidak tahu? Anak berambut spiky itu terus berdoa siang-malam agar dirinya tidak perlu berurusan dengan Gita sekeluarga dan hal-hal berbau horor. Sudah cukup merasa paranoid, tidak perlu sampai benar-benar terjadi.
Ashvin mengetatkan rahang, gemas dengan orang di depannya. "Maneh merasa enggak sih, kalau makin hari makin terasa kalau ada yang lagi awasi kita?" tanyanya lantas menyendok satu suap telur ceplok dan nasi.
Alvin memalingkan wajah. Enggak perlu ditanya, benaknya berbicara. Dari awal dia merusak kotak warisan saja anak itu sudah merasakan hal-hal ganjil. Namun, dia tidak memberitahukan Ashvin karena tidak ingin merepotkannya. Begini-begini, Alvin masih punya hati terhadap kembarannya.
"Urang sudah sering lihat orb di mana-mana," beri tahu Ashvin. "Dua tahap lagi, urang atau maneh bahkan, bakal bisa lihat penampakan seutuhnya. Maneh mau gitu pingsan tiap detik gara-gara lihat poci atau kunti lewat depan muka?"
Pocong? Kuntilanak? Hell, no! Tentu saja Alvin tidak mau. Sedari awal dia tidak ingin memikirkan itu sebab energi negatifnya bisa terserap para lelembut dan menyebabkan prosesnya lebih cepat. Sama seperti Ashvin, Alvin pun sudah melihat orb-benda bulat bersinar yang dapat terbang-di mana-mana sejak "hari pertama", bahkan ektoplasma di hari kedua, seperti saat ini. Asap-asap transparan melayang-layang di sudut ruangan. Tinggal menunggu tahap vorteks, lalu Alvin bisa diam membeku tak bisa bergerak, bukan pingsan seperti dugaan Ashvin selama ini.
Alvin menggeleng. Dia menghabiskan makanannya segera lantas berdiri meninggalkan meja sambil membawa piring yang licin ke wastafel. "Udah ah, urang mau tidur!"
"Woy, Al!" Ashvin bangkit sambil menggebrak meja. "Cepat atau lambat kita harus ruwatan!"
"Iya, iya! Kapan-kapan aja kalau mendesak!" jawab Alvin tak acuh. Suara langkahnya menaiki tangga menggema.
Alvin bukan tidak ingin diruwat. Pada akhirnya, dia harus mau karena telah merasakan efek samping setelah merusak segel. Anak lelaki itu hanya sedang mempersiapkan mental sebelum dia menghadapi segala tetek-bengek dunia spiritual yang tak terbayangkan dan mungkin mengerikan.
"Hah ...." Alvin mendesah. Dia duduk di pinggiran kasur berseprai hitam sebelum akhirnya tengkurap di lantai kayu untuk push-up. Sebuah ritual yang dilakukan sebelum tidur bersama sit-up dan angkat beban menggunakan dumbell 3 kg.
Keringat bercucuran dari dahi Alvin sampai membasahi kaus hitamnya. Otot bisepnya mengencang saat dia mengangkat beban sambil berkaca di depan cermin. Napasnya teratur seirama gerakan tangan yang naik-turun, tetapi berhenti seketika saat anak itu melihat bayangan hitam yang bergerak terpantul melalui cermin.
Alvin refleks berbalik, tetapi dia tidak menemukan sesuatu yang ganjil. Anak itu menelan ludah. Mungkin ... halusinasi akibat kelelahan setelah olahraga, dia meyakinkan diri. Sudah waktunya istirahat. Namun, saat remaja berkulit kuning langsat itu menaruh dumbell di kolong kasur, tangannya disentuh jemari kelabu keriput.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Cur(s)e (TERBIT)
Teen Fiction(Tersedia di Shopee dan Tokopedia Ponyo Official Store) Dikutuk karena membuka kotak warisan yang seharusnya dibuka di waktu yang telah ditentukan, Alvin dan Ashvin harus mengadakan perjalanan panjang menemui kakek mereka di kaki Gunung Lawu bersama...