Gita meringkuk dengan tubuh gemetar. Meskipun mobil sudah berhenti di parkiran rest area dan Ashvin dari keluar tol Cisumdawu—dan masuk lagi ke tol Cipali—telah kembali normal dari mode pembalap kesurupan, sensasi ngeri dekat dengan maut itu belum hilang. Matanya yang bulat bergetar membayangkan bagaimana kalau dia tidak selamat dengan si Kembar. Perjalanan menyelamatkan nyawa malah bisa berakhir menjadi pemberian tumbal. Untungnya hal itu tidak berlangsung lama yang bisa saja membuat mereka kena tilang karena melebihi batas kecepatan, tetapi tetap Ashvin memacu mobil dengan tidak waras.
Sementara itu, Alvin di depannya lemas dengan tatapan kosong. Ruh anak lelaki itu seolah ingin keluar dari mulut yang terbuka. Baru kali ini dia merasa takut setengah mati selain karena melihat lelembut. Ashvin sudah sinting, delikan mata Alvin berkata pada kembaran di sebelahnya yang hanya menunduk menghadap setir.
Ashvin selaku pelaku hanya mengembuskan napas. Setelah cukup tenang, anak itu mengangkat kepala. "Kita harus isi bensin," katanya tatkala melihat bar tangki.
Anak berambut pendek di kursi navigator melotot. Wajahnya mengeras. Dia menegakkan punggung lantas mencengkeram kerah jaket saudaranya. "DASAR BEGO! DASAR TOLOL! DASAR GOBLOK! MANEH MAU NGAJAK MATI, HAH?! MIKIR AI MANEH![3]" sembur Alvin penuh emosi, sedangkan orang yang diteriakinya hanya memalingkan wajah sambil menutup mata. "Maneh kalau kangen Mamah jangan ngajak-ngajak urang buat mati!!!" Anak itu mengetatkan pegangannya sampai Ashvin mengerang.
Gita bangkit dan memisahkan mereka berdua. "Al, sudah, Al. Marah enggak akan selesaikan masalah!" lerainya sambil mencengkeram pundak Alvin. "Kasihan Ashvin!"
Alvin berdecak lantas mengempaskan Ashvin sampai membentur sandaran kursi. "Urang mau hirup udara segar dulu!" katanya sambil melepas sabuk pengaman lantas membuka pintu.
"Aku ikut." Gita menyusul, meninggalkan Ashvin sendiri.
Si anak berambut koma mendesah sambil menyandarkan punggung pada sandaran. Alisnya yang terangkat menukik turun. Kedua mata cokelat yang senantiasa terlihat ramah menyipit kesal. Rahangnya mengetat keras. Dia lantas menutup wajah dengan kedua tangan. Frustrasi. Kenapa urang bisa sampai kebawa emosi dan hampir bikin celaka keluarga sendiri?! Ashvin menghela napas berat lagi. Maaf, ya, Git, Al ....
Alvin berjalan sambil sesekali menendang kerikil atau butiran semen yang menghalangi. Kedua tangannya masuk ke saku celana jeans. Kemeja flanel kotak-kotaknya yang tidak dikancing berkibar perlahan ketika angin berembus sepoi-sepoi menenangkan. Namun, hati anak itu kesal bukan kepalang.
"Ashvin bego ...," geram Alvin sambil melewati kumpulan pohon dengan kanopi lebar, lantas duduk di pinggiran pembatas rest area di belakang tanda "Kilometer Satu Enam Enam".
Gita menyusul duduk di sebelah kanannya. "Kalian harus segera berbaikan," katanya setelah hening beberapa saat.
Alvin mendengkus. "Kenapa? Dia yang salah juga—"
"Sekarang bukan waktunya kalian tengkar terus. Please. Kesampingkan dulu masalah kalian. Yang lalu biar berlalu. Energi negatif kalian bisa memperparah kutukan yang ada." Gita menyentuh bahu orang di sampingnya. "Al ...."
Alvin hanya menggembungkan pipi sambil memalingkan wajah. Mukanya menekuk.
Gita mendesah. "Aku tahu kamu masih marah ke Ashvin karena ngebut kayak orang enggak waras. Bukan dia banget. Aku juga begitu tadi, takut kenapa-kenapa. Tapi, itu mungkin karena perkataanmu juga yang bikin kesabarannya habis."
"Jadi, urang yang salah begitu?" tanya Alvin tak terima.
Gadis berambut pendek itu lelah. "Al, baikan sama Ashvin. Kita enggak akan ke mana-mana kalau kalian kayak begini terus."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Cur(s)e (TERBIT)
Novela Juvenil(Tersedia di Shopee dan Tokopedia Ponyo Official Store) Dikutuk karena membuka kotak warisan yang seharusnya dibuka di waktu yang telah ditentukan, Alvin dan Ashvin harus mengadakan perjalanan panjang menemui kakek mereka di kaki Gunung Lawu bersama...