1st page

622 63 6
                                    

Banyak yang bilang bahwa punya kakak cowok itu menyenangkan. Gue nggak bilang ini salah sih, tapi gue nggak bisa membenarkan hal ini sepenuhnya. Ada kalanya gue merasa beruntung karena punya kakak cowok kayak Bang Rasya. Dia panutan gue. Dia mengajarkan gue berbagai hal—termasuk ide bejat di luar nalar. Dia adalah orang yang bakal berdiri di barisan terdepan ketika gue merasa nggak aman.

Moto hidupnya adalah, "Cuma gue yang boleh gangguin adek gue. Siapa pun yang berani nyakitin dia, berhadapan langsung sama gue."

Kedengarannya romantis sih, tapi moto hidupnya itu juga berarti bahwa Bang Rasya punya kekuasaan mutlak buat gangguin gue. Nggak cuma itu, dia juga suka mengintimidasi gue. Dan yang paling gue benci adalah, dia sering memanfaatkan gue di beragam situasi.

Misalnya, Bang Rasya tiba-tiba nongol di ambang pintu kamar waktu gue lagi beres-beres sambil bilang, "Kir, lo disuruh nyuci piring."

Tanpa memedulikan keberadaannya yang nggak gue harapkan, gue tetap mengosongkan kallax di dekat pintu, menurunkan barang-barang dan menjejerkannya di lantai. "Pasti lo yang nyuruh."

"Bukan. Bunda yang nyuruh."

"Bunda kalau mau nyuruh gue tuh selalu bilang langsung ke gue. Lagian kata-kata lo templat banget, Bang. Gue udah hafal cara lo ngelimpahin kerjaan ke gue."

"Tolongin kek," pintanya memelas.

Kali ini, gue berdiri, berkacak pinggang menatap Bang Rasya yang bersandar di pintu. "Emang lo lagi ngapain sih sampai urusan nyuci piring aja harus lo limpahin ke gue?"

"Lagi dikejar deadline, Sayangggg. Gue harus nyelesaiin sketsa project sebelum meeting siang ini." Sorot mata dan kata-katanya terkesan jujur.

Gue mengamati penampilan Bang Rasya yang masih buluk. "Lo abis begadang, ya?"

"Yap."

Hati kecil gue merasa terketuk ketika jawaban singkatnya diantar oleh embusan napas berat. "Yaudah. Nanti biar gue yang nyuci piring."

Air mukanya mendadak cerah. "Beneran???"

"Hm-mm."

"Gerabahnya banyak lho, Kir," ujarnya.

"Gue nyuci piring sendiri waktu lo syukuran keterima kerja, ya, kali aja lo lupa."

Bang Rasya menyelonong masuk cuma buat menepuk-nepuk kepala dan mencubit pipi gue. "Kamu emang perempuan paling hebat yang pernah Abang temui, Sayang."

"Najis, sayang-sayangan!" omel gue sambil menepis tangan Bang Rasya. "Minggir! Gue mau beres-beres dulu."

Bang Rasya tertawa sejenak.

"Tumben banget?" Bang Rasya mengernyit seraya menatap barang-barang yang berserakan di lantai. "Gue tau lo fanatik bersih-bersih, tapi kayaknya lo nggak pernah sampai ngerombak kamar kayak gini deh. Lo lagi patah hati, ya?"

"Enggak."

Bang Rasya tiba-tiba menangkup pipi gue dan menatap gue lamat-lamat. "Jujur sama gue, Kir. Lo nggak lagi sakit parah, 'kan?"

"Gue. Nggak. Sakit." Rahang gue terkatup menjawab pertanyaan Bang Rasya yang makin aneh. Kemudian, gue menepis tangannya. "Kenapa sih orang beres-beres tuh selalu dikaitkan sama patah hati atau sakit?"

"Kalau bukan patah hati atau sakit, berarti stres." Bang Rasya menebak dengan sotoy.

Gue menampol pipi Bang Rasya. "Emang. Lama-lama gue stres punya abang kayak lo."

"Ow, your words hurt me."

"Bullshit."

Bang Rasya tertawa. "Lagian ngapain sih pake dirombak segala? Kamar lo tuh udah rapi, Kir. Kalau mau, mending lo beresin kamar gue."

Unfinished ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang