Badai itu kembali. Badai yang kerap kali menerjang kediaman Afnan tanpa pertanda. Badai yang didominasi nada tinggi dan suasana tegang yang membuat bulu kuduk berdiri. Badai yang dikendalikan kedua orang tuanya tanpa peduli siapa yang sedang berdiri memperhatikan adegan yang menyayat hati itu. Afnantama Pradista. Pemuda yang minggu lalu menginjak tahun ke-16 di hidupnya. Pemuda yang tak pernah mengerti kenapa juga Tuhan membiarkannya hidup selama itu jika yang harus dihadapinya hanyalah masalah tak berujung sepanjang waktu?"APALAGI YANG KAMU CURIGAI SEKARANG?!" suara bariton bernada tinggi itu menggelegar. Afnan, di balik pintu yang baru setengah terbuka memejamkan matanya. Tangannya yang terbebas ia gunakan untuk mengusap-usap telinganya yang pengang. Pemuda itu bahkan sudah tidak terkejut dengan teriakan demi teriakan yang menggaung.
"MAU SAMPAI KAPAN KAMU MENGELAK TERUS, MAS?! BUKTINYA SUDAH ADA DI DEPAN MATAMU!" kali ini, suara yang lebih melengking membelai telinga Afnan yang baru diusap. Seolah kedua cuping indera pendengar itu tak diizinkan untuk beristirahat.
"BUKTI APA?! INI HANYA AKAL-AKALAN KAMU SAJA!"
Afnan tak tahan. Terbiasa bukan berarti ia bisa menerima. Ia jengah. Muak setengah mati. Pertengkaran demi pertengkaran yang orang tuanya lakoni membuatnya lelah mental dan pikiran. Sebagai anak yang mendambakan keluarga harmonis, Afnan tak pernah merasa biasa saja setiap kali berada di tengah badai pertengkaran kedua orang tua yang ia cintai. Hatinya yang ia pikir sudah mati rasa, rupanya masih belum bisa kebas terhadap hal seperti ini.
Di bawah atap rumah lainnya, hal yang sama tengah berlangsung. Badai itu tak hanya menerpa rumah Afnantama Pradista yang memilih menutup pintu dan menjauh dari lokasi kejadian. Di tempat lain, Gantari Puspa tengah memeluk lututnya sendiri. Di balik pintu kamarnya, dengan tubuh gemetar. Di sisi lain pintu kamar itu, nada tinggi dari kedua orang tuanya saling bersahutan. Ayah dan ibunya seperti dua binatang buas yang sama-sama berusaha menjaga daerah teritorial. Tak ada yang mau mengalah, ego mereka saling berbenturan. Tak menghiraukan putri sulungnya yang gemetar ketakutan sendirian. Di sebelah Gantari, pemuda yang tak terpaut jauh usianya tengah memejamkan mata dengan begitu damai. Adik satu-satunya, Kanagara Jati, tertidur pulas sembari mendengarkan lantunan melodi syahdu dari headphone yang Gantari pinjamkan. Mengangkat wajah, gadis itu tersenyum getir menatap wajah damai adiknya. Syukurlah, pemuda berusia 10 tahun yang ia panggil Gara itu tak perlu mendengar apa yang Gantari dengar, pikirnya, yang mencoba memungut sekecil apapun hal baik yang bisa ia ingat untuk menekan rasa takut di hatinya. Sekaligus menahan luka yang sudah lama digores kedua orang tuanya, agar tak menganga lebih lebar.
Di atap-atap lainnya, badai itu mungkin tengah berlangsung jua. Menghancurkan jiwa-jiwa kecil yang tak mengerti harus menyelamatkan dirinya di mana, ke mana, bagaimana. Pada siapa mereka harus mengulurkan tangan, pada siapa mereka harus meminta bantuan untuk diselamatkan dari badai yang menenggelamkan jiwa-jiwa mereka dalam laut luka dan rasa trauma. Di antara jiwa-jiwa kecil itu, Afnantama Pradista dan Gantari Puspa yang akan berbagi cerita. Tentang bagaimana satu benturan ego yang membludakkan amarah di bawah atap rumah, dapat mengubah jalan hidup mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Bawah Langit yang Sama, Kita Berbeda
Literatura FemininaLingkungan yang membentuk jati diri kita. Tapi, sebelum itu apa yang berperan lebih besar dalam membentuk diri manusia? Afnan dan Gantari, dua individu yang lahir di tengah kondisi dan lingkungan yang serupa. Namun, mengapa pandangan mereka terhadap...